Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Curi Ikan, Kabur Lewat Ambalat

Kompas.com - 12/06/2009, 10:28 WIB

Sarie Febriane

Setiap kali kapal perang Malaysia nyelonong memasuki perairan Indonesia melintasi Ambalat, Indonesia meradang. Padahal, sudah lebih dari 20 tahun kapal-kapal Malaysia dari Tawau menerobos masuk perairan di Kalimantan Timur itu.

Namun, bukan untuk provokasi, melainkan untuk mencuri ikan di laut Indonesia hingga berton-ton. Kerugian Indonesia mencapai ratusan miliar rupiah setiap tahun.

Awal pekan lalu, belasan laki-laki, baik muda maupun tua, tampak duduk-duduk santai di sebuah balai bambu di dermaga Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Dari Tarakan, pulau itu bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu jam dengan speedboat.

Para lelaki tadi sebagian besar adalah bekas nelayan Pulau Bunyu yang kini beralih profesi menjadi buruh angkut. Saban hari, kapal-kapal pengangkut bahan pangan dan keperluan lainnya dari Tarakan berlabuh di dermaga itu. Kedatangan kapal-kapal itu menjadi sumber nafkah mereka saat ini. Terlebih sejak ikan-ikan semakin sulit didapat di sekitar Pulau Bunyu.

”Sekarang kalau mau cari ikan paling untuk makan saja, bukan untuk dijual. Bisa dapat 5 kilogram saja sekarang sudah beruntung. Dulu, 15 tahun lalu, kami masih bisa dapat ikan sampai 100 kg dengan cuma melaut dekat-dekat saja,” tutur Basri (62), mantan nelayan yang kini menjadi buruh angkut di dermaga.

Basri bercerita, dirinya kini memilih pensiun jadi nelayan karena kendala modal dan sumber daya ikan yang juga menipis. Para nelayan tradisional di Pulau Bunyu seperti Basri hanya mampu melaut di sekitar Pulau Bunyu karena modal bahan bakar yang terbatas.

Namun, anugerah itu tak lagi bisa mereka nikmati dalam waktu 10 tahun terakhir. Laut di sekitar Bunyu tak lagi menyisakan ikan yang memadai untuk ditangkap dengan jaring yang seadanya. Untuk melaut lebih jauh, para nelayan itu tak punya modal bahan bakar yang cukup. Akibatnya, daripada tekor, mereka menanggalkan tradisi nenek moyangnya sebagai pelaut.

Tak hanya hutan Indonesia yang merana akibat pembalakan liar. Tanpa dapat terpantau secara intensif, perairan Indonesia sebenarnya sejak lama sudah habis-habisan dirambah. Tak hanya oleh negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, tetapi juga hingga kapal-kapal ikan asal Korea Selatan.

Ada 48 kapal Malaysia

Kurun waktu April hingga Mei lalu, polisi dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menangkap 11 kapal ikan asal Tawau, Malaysia, yang kedapatan mencuri ikan di Perairan Muara Bunyu dengan koordinat N: 03° 28’ 34,5” E: 118° 04’ 16,8” dan Perairan Muara Nunukan dengan koordinat N: 03° 51’22,7” E: 118° 03’ 08,6”. Kapal-kapal yang baru berlayar itu bermuatan hampir 4 ton ikan.

Sejak Januari hingga Mei 2009 ini sudah ada 48 kapal asal Malaysia yang ditangkap saat kedapatan mencuri ikan di perairan Indonesia. Sebagian dari kapal-kapal itu tengah menghadapi proses sidang.

Tim polisi menangkap kapal-kapal itu tepatnya pada 9 April 2009 sebanyak tujuh kapal dan 29 Mei 2009 sebanyak empat kapal. Sebelas kapal itu kini ditahan di Pangkalan Polisi Air di Tarakan. Dari ke-11 kapal itu, polisi menangkap 11 orang yang diduga terlibat. Ironisnya, semuanya adalah WNI. Sembilan orang dari mereka merupakan nakhoda dari kapal milik warga negara Malaysia.

Sementara itu, dua tersangka lain adalah AK, pejabat syahbandar dari Kantor Pelabuhan Sungai Nyamuk di Kabupaten Nunukan, Kaltim, dan ACH, mantan pegawai harian lepas di kantor yang sama. Peran kedua oknum aparat perhubungan laut itu mengeluarkan surat izin berlayar (SIB) untuk kapal-kapal Malaysia. Semua kapal Malaysia itu tidak dilengkapi dengan surat izin penangkapan ikan yangdikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.

Dari 11 kapal itu, tujuh kapal membawa SIB bodong, sementara empat kapal tidak memiliki dokumen apa pun sekalipun SIB bodong. SIB bodong itu dibuat di Kantor Pelabuhan Sungai Nyamuk, lalu diantar ACH ke Tawau.

Direktur V Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Bareskrim Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Salamuddin mengungkapkan, kapal-kapal Malaysia tersebut ketika melintasi Ambalat, memasuki wilayah perairan Indonesia, bendera Malaysia segera diganti menjadi bendera Indonesia.

”Mereka juga mengganti nama kapal dan nomor seri lambung saat di perbatasan Indonesia dan Malaysia,” kata Boy.

Zaenudin (24), salah satu anak buah kapal yang bekerja pada salah satu kapal Malaysia yang ditangkap, mengakui, hampir semua kapal ikan di Tawau kerap mencuri ikan di perairan Indonesia. ”Lautnya lebih luas di Indonesia, ikannya juga lebih banyak,” kata Zaenudin asal Majene, Sulawesi Barat.

Zaenudin mengaku terpaksa bekerja di kapal Malaysia pencuri ikan karena terdesak kebutuhan ekonomi. Zaenudin mengaku digaji 400 ringgit (Rp 1, 14 juta) sebulan oleh bos pemilik kapal di Malaysia. Bos yang dipanggilnya Awi itu, menurut Zaenudin, memiliki sedikitnya 50 kapal di Tawau.

Menurut Zaenudin, fishing ground (kawasan penangkapan ikan) favorit bagi kapal-kapal Malaysia di Tawau adalah di Muara Bunyu, Muara Nunukan, dan Muara Tarakan. Dari ketiga fishing ground tersebut, hanya butuh waktu 30 menit sampai satu jam untuk melarikan diri, melintasi Blok Ambalat, lalu kembali ke wilayah Malaysia.

Menurut Zaenudin, kapal-kapal Malaysia biasanya mencuri ikan di perairan Indonesia selama 5-6 hari setiap kali berlayar. Hasil laut itu kemudian langsung dibawa dan dijual di Malaysia.

Polisi Air di Tarakan sendiri tidak bisa setiap hari berpatroli untuk mengawasi perairan itu karena terkendala anggaran. Di Tarakan, Polisi Air memiliki lima kapal patroli, yang tidak semuanya setiap hari dioperasikan sekaligus untuk berpatroli. Modal bahan bakar memang sangat besar. Kapal-kapal itu membutuhkan 250 liter bahan bakar premium—senilai Rp 1.125.000—untuk satu jam patroli saja.

Dua kali ditangkap

Boy menuturkan, kapal asing sebenarnya diperbolehkan mencari ikan di Indonesia. Namun, hal itu harus melalui perizinan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Setiap kapal asing harus memiliki surat izin penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh DKP.

Ironisnya, lanjut Boy, polisi juga menemukan kapal yang sudah dua kali ditangkap. Kapal tersebut sebelumnya pernah ditangkap polisi dari Polres Bulungan pada Januari 2009 saat kedapatan tengah mencuri ikan.

Kemudian, berdasarkan kutipan risalah lelang yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Tarakan, kapal itu dilelang pada April 2009 dan jatuh pada pemilik baru, yaitu bernama Baba. Kapal terjual dengan harga Rp 9,6 juta. Padahal, harga riil kapal itu menurut Boy lebih dari Rp 100 juta.

”Kapal itu pada akhirnya jatuh kembali ke pemilik lama, warga negara Malaysia yang usahanya memang mencari ikan dengan mencuri di perairan Indonesia,” kata Boy.

Boy mengatakan, Polri saat ini masih berupaya menjajaki kerja sama dengan kepolisian Malaysia untuk menangkap bos pemilik kapal warga negara Malaysia. Selain itu, Polri juga masih mengejar seorang buronan WNI yang berperan sebagai pemberi informasi soal aman tidaknya perairan Indonesia dari pantauan polisi atau TNI AL.

Sementara itu, Komisaris Besar Jusman Aer, Penyidik Utama di Direktorat Tipiter Bareskrim Mabes Polri, berujar, menangkap kapal-kapal ikan pencuri asal Malaysia lama-lama seperti permainan anak-anak saja. Sebab, jika setiap kali tertangkap, toh akhirnya kapal yang dilelang jatuh kepada pemilik lama.

”Ini kan namanya seperti main-main saja kalau terus- terusan begini,” kata Jusman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com