Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Liga Indonesia, Kapan Berubah?

Kompas.com - 10/07/2009, 09:17 WIB

KOMPAS.com — Semua hajatan sepak bola nasional musim 2008/2009 telah berakhir dan ditutup dengan noda hitam kasus mogoknya Persipura dari final Copa Indonesia. Ini klimaks penuh kegetiran, cermin pengelolaan kompetisi sepak bola yang masih jauh dari profesional. Entah siapa yang salah dan tidak becus, mengapa selalu saja ada yang tidak beres.

Marcel Desailly, mantan bintang sepak bola Perancis, mungkin baru sekali ke Indonesia saat mengikuti tur AC Milan, tampil di Jakarta dan Surabaya tahun 1994. Namun, dalam pertemuan dengan Kompas di Johannesburg, Juni lalu, ia sama sekali tidak sulit menjawab pertanyaan: mengapa sepak bola Indonesia seperti sulit sekali berkembang?

”Mungkin karena kompetisi di negeri Anda tidak terorganisasi dengan baik, tidak cukup banyak pertandingan level tinggi,” ujarnya. Jawaban dari ”orang luar” itu tidak meleset jika kita, insan sepak bola nasional, jujur dengan realitas kompetisi negeri ini.

Musim 2008/2009 yang baru berakhir, musim yang katanya tonggak baru kompetisi nasional dengan diluncurkannya Liga Super Indonesia (LSI), ternyata sami mawon dengan tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari kerusuhan suporter, jadwal kompetisi yang selalu berubah, kinerja wasit yang tetap buruk, pengelolaan klub yang amatiran, hingga yang menggelikan lagi, tentang tim-tim musafir peserta liga.

Mungkin karena begitu uniknya kompetisi musim lalu, beberapa hari lalu Reuters melansir berita soal Liga Indonesia. Pada berita yang kemudian dikutip berbagai media internasional itu, kantor berita yang bermarkas di London tersebut menyebut Liga Indonesia musim 2008/2009 sebagai musim yang kacau-balau (a shambolic season).

Penyebutan itu merujuk pada kenyataan beberapa klub musafir yang tidak punya lapangan bertanding (home ground) dan diabaikannya aturan-aturan soal kualifikasi pelatih klub. Sebenarnya, awalnya hanya tiga klub musafir musim lalu, yakni Persitara Jakarta Utara, Persita Tangerang, dan PSMS Medan.

Namun, belakangan, Persija Jakarta ikut menjadi musafir terkait larangan kepolisian menggelar laga sepak bola di Jakarta demi keamanan Ibu Kota menjelang Pemilu Legislatif 2009. ”Tak akan ada lagi klub-klub musafir musim depan. Kami tidak akan kompromi,” ungkap Joko Driyono, Direktur Kompetisi Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI).

”Kami akan mulai melakukan verifikasi klub-klub itu, Agustus mendatang, dan kami berharap itu sudah selesai akhir Agustus,” ungkap Joko. Intinya, klub-klub yang tidak punya modal stadion tempat laga kandang tidak boleh bertanding di kancah LSI.

Posisi mereka di LSI dapat digantikan klub-klub Divisi Utama yang lebih memenuhi syarat. Apakah tekad itu bakal benar-benar terlaksana atau tidak, masih perlu ditunggu. Maklum, bukan rahasia lagi di mata insan bola nasional bahwa aturan soal pengelolaan sepak bola negeri ini sering berganti, seperti sopir bajaj yang sulit ditebak arahnya.

Mengapa bisa kacau?

Istilah ”musim yang kacau-balau (a shambolic season)” mungkin terasa berlebihan dan cenderung simplistis. Namun, jujur harus diakui, selalu ada hal-hal yang tidak beres dalam pengelolaan kompetisi sepak bola negeri ini. PSSI sebenarnya tidak habis-habisnya berusaha memperbaiki situasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com