Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maklum, Budaya Kita Masih Budaya Lisan...

Kompas.com - 16/07/2009, 18:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sedini mungkin anak sudah bisa membaca atau tetap dibiarkan saja bermain, hal itu tidak perlu dipersoalkan. Anak sedang asyik-asyiknya bermain, ya, biarkanlah bermain. Karena dari situlah kerap minatnya akan membaca muncul.

"Minat membaca tidak dipaksakan karena hal itu harus disesuaikan dengan kondisi si anak, orangtualah yang harusnya menyesuaikan bagaimana minat bisa ditumbuhkan sesuai kondisi," ujar Dr Sumaryati Arjoso, mantan Kepala BKKBN, dalam diskusi "Membangun Budaya Baca Sejak Lahir" di Jakarta, Kamis (16/7).

Sumaryati mengatakan, sedini mungkin anak sudah berminat membaca atau sebaliknya lebih asyik menikmati masa kanak-kanaknya dengan bermain, bukan sesuatu hal yang penting dan kontroversial.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Departemen Pendidikan Nasional Dr Sudjarwo S. Belajar membaca, ujar Sudjarwo, sebetulnya sangat bisa dilalui dengan bermain.

"Belajar melalui bermain, bukan belajar sambil bermain, ini dua hal yang berbeda," tangkis Sudjarwo.

Sudjarwo menambahkan, pada PAUD, 80 persen otak anak lebih didominasi oleh otak kanak. Dominasi itulah yang paling besar menstimulasi keinginan anak untuk bermain, menikmati hal-hal yang santai dan cenderung tidak rumit di dunianya.

"Sehingga sangat tepat diterapkan belajar melalui permainan atau bermain, dan perlu diingat bahwa minat itu urusan hati, bukan keterampilan sehingga biarkan anak menikmati permainannya lebih dulu sampai keinginannya muncul," ujarnya.

Budaya dan struktur

Sosiolog yang juga Guru Besar FISIP Universitas Indonesia Prof Dr Paulus Wirutomo lebih menyoroti akar permasalahan inti dari rendahnya budaya minat baca pada masyarakat Indonesia. Alhasil, diperlukan upaya menggerakkan budaya tersebut hingga di tingkat PAUD.

"Persoalan rendahnya minat baca orang Indonesia adalah permasalahan budaya dan struktur. Budaya kita adalah budaya lisan, sementara stuktur itu terdiri dari berbagai aturan, kebijakan atau birokrasi," tutur Paulus.

Pada tataran budaya, Paulus mencontohkan kasus-kasus sederhana seperti kurang apresiatifnya seseorang melihat orang lain membaca. Orang yang serius membaca dijadikan bahan tertawaan, dianggap sok serius, atau terlalu idealis.

"Itulah budaya lisan, kita lebih suka mengobrol, berbincang, dan mendengarkan daripada membaca," tambahnya.

Sementara itu, pada persoalan struktur, Paulus menyayangkan banyaknya kebijakan atau aturan yang justru semakin memperkuat meresapnya budaya lisan tersebut dan semakin menjauhi budaya baca.

"Kencangnya arus teknologi, program-program televisi, atau Ujian Nasional sebagai kebijakan pada pendidikan di sekolah banyak menjauhi minat baca anak-anak kita saat ini," tandas Paulus.

Menurut Paulus, budaya oral pada anak saat ini lebih banyak yang melesat langsung ke budaya digital. Banyak orangtua dan kalangan pendidik tidak mengimbanginya dengan budaya baca di antara keduanya.

"Budaya lisan harus segera dilawan dan seiring itu pula strukturnya harus juga diperbaiki, untuk itu orangtua dan pembuat kebijakan sangat punya peranan besar di sini," tegasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com