Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kurikulum Belum Akomodasi Ilmu Astronomi

Kompas.com - 21/07/2009, 18:39 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com - Kurikulum pendidikan saat ini belum cukup menampung perkembangan ilmu astronomi. Padahal, pengetahuan ini dianggap penting bagi siswa dari berbagai jurusan ilmu, baik IPA maupun IPS .

"Dengan mengenal antariksa secara lebih baik, mudah-mudahan mereka lebih mencintai bumi ini. Menyadari bahwa bumi-lah satu-satunya planet yang bisa dihuni manusia saat ini," ujar Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Clara Y. Yatini, Selasa (21/7).

Terlepas dari adanya riset yang mengungkapkan gejala pemanasan global juga dipicu aktivitas puncak matahari, ia menuturkan, pengaruhnya tidak signifikan diba ndingkan efek rumah kaca yang diciptakan manusia. Pemahaman utuh ini bisa didapatkan jika siswa belajar mengenai antariksa.

"Sekarang ini kan ilmu antariksa (dan astronomi) kan malah masuknya ke pelajaran geografi. Bahkan, ada sekolah yang tidak memasukan nya (ke dalam kurikulum) sama sekali. Zaman ketika saya SMA dulu masih lebih baik," ujar alumnus Institut Teknologi Bandung ini.

Dedeh, salah seorang guru Geografi membenarkan, kurikulum geografi selalu berubah-ubah. Mata pelajaran geografi tiap ganti kurikulum selalu gonjang-ganjing . Berubah-ubah. "Di KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) saat ini, hanya tinggal 1 jam di kelas I. Di IPA malah tidak lagi diajarkan," ungkapnya .

Relevan dengan kondisi ini, minat calon mahasiswa kuliah di jurusan Astronomi ITB sangat rendah. Menurut data dari Kantor Wakil Rektor Bidang Akademik ITB, dari kuota 30 mahasiswa astronomi tiap tahunnya, hanya separuhnya terisi.

Meskipun minim peminat, Wakil Rektor Bidang Akademik ITB Adang Surahman mengatakan, prodi khas ini tidak akan ditutup. "Karena, keilmuan dan profesinya sangat dibutuhkan negara," ucapnya dalam suatu kesempatan.

Sebagai solusinya, untuk menarik minat, di dalam jalur khusus penerimaan calon mahasiswa, prodi ini dibebaskan dari biaya sumbangan dana pengembangan akademik (SDPA) yang biasanya dipatok sebesar Rp 50 juta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau