Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ITB Jaring 27 Siswa Miskin

Kompas.com - 27/07/2009, 16:59 WIB

BANDUNG, KOMPAS - Program ITB untuk Semua meloloskan 27 calon mahasiswa miskin dari berbagai daerah di Indonesia. Jumlah yang diterima melalui jalur mandiri seleksi penerimaan mahasiswa ITB ini jauh di bawah target awal.

"Target kami awalnya memang 50 orang yang diterima di sini (ITB untuk Semua). Tetapi, yang lolos hanya 27 calon mahasiswa yang melalui USM (Ujian Saringan Masuk ITB)," ujar Betti Alisjahbana, Ketua Penyelenggara Program ITB untuk Semua, akhir pekan lalu.

Ke-27 calon mahasiswa ini berasal dari berbagai daerah, antara lain Kediri, Tana Toraja, Lampung, Mojokerto, Jambi, dan Gorontalo. Mereka akan segera kuliah di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, serta Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan.

Semula dalam awal seleksi jalur ini diikuti 200 orang, tetapi hanya 27 siswa yang lolos. Mereka sebelumnya juga telah menyisihkan 3.170 pendaftar lain dari seluruh penjuru Nusantara.

Menurut Betti, pihaknya masih berkesempatan memenuhi target 50 penerima program beasiswa ini. "Saat ini kami sedang menunggu hasil seleksi melalui SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Mudah-mudahan banyak yang diterima," tutur pendiri QB Creative ini.

Baik calon mahasiswa yang diterima melalui USM ataupun SNMPTN di dalam program ITB untuk Semua ini, mereka akan samasama mendapat beasiswa kuliah secara penuh. Nilainya mencapai Rp 100 juta per mahasiswa. Biaya ini mencakup SPP, biaya hidup, kos, transportasi, dan buku.

Menurut dia, program beasiswa ini baru pertama kali dilaksanakan tahun 2009. Sejauh ini dana yang terkumpul untuk pelaksanaannya mencapai sekitar Rp 3,3 miliar. Dana ini adalah hasil sumbangan dari industri dan alumni ITB, seperti Medco Energy, PT Adaro, dan PT Newmont.

"Program ITB untuk Semua ini ada psikotesnya. Nanti di kampus, mereka dibiayai sepenuhnya dan tinggal kuliah saja. Jadi, tidak perlu ikut-ikutan perjokian," tutur Betti menanggapi pertanyaan apa yang harus dilakukan agar calon mahasiswa kurang mampu itu tidak terlibat perjokian.

Dalam kesempatan tersebut, Betti juga menyampaikan keprihatinannya terkait terungkapnya kasus perjokian dalam SNMPTN yang ternyata melibatkan mahasiswa ITB. Apalagi, mayoritas adalah mahasiswa dari golongan ekonomi kurang mampu.

Tidak mudah menjaring Secara terpisah, Rektor ITB Djoko Santoso mengatakan, tidak mudah mencari mahasiswa tidak mampu yang berprestasi seperti dipersyaratkan selama ini. "Biasanya anak-anak semacam ini sudah berguguran terlebih dahulu sejak di SD. Sebabnya bermacam-macam, antara lain karena disuruh membantu orangtua bekerja," ujarnya.

Untuk itu, ia menekankan pentingnya kesinambungan pola penanggulangan siswa putus jenjang sekolah, dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.

"ITB di jenjang paling atas. Kalau yang di bawah belum diperbaiki, tentunya bakal sulit," katanya. Padahal, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) mensyaratkan perguruan tinggi BHP menyediakan kuota 20 persen untuk siswa tidak mampu. "Artinya, ITB harus mencari 600 mahasiswa ini (kurang mampu) setiap tahun. Ini besar, lho. Kami saja masih kerepotan memenuhinya," ungkap Djoko.

Ia mencontohkan, target penerima beasiswa penuh dari ITB sebanyak 200 mahasiswa per tahun tidak pernah bisa terpenuhi. "Paling- paling yang mendapat hanya belasan," katanya.

Untuk itu, ia mengkritik pandangan pihak yang masih memandang BHP tidak berpihak kepada masyarakat tidak mampu. "Barangkali mereka ini buta huruf," tuturnya. (JON)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau