Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dicari: Pemimpin Berjiwa Sehat

Kompas.com - 22/10/2009, 08:10 WIB

KOMPAS.com - Menjadi pemimpin di negeri ini tidak hanya membutuhkan jiwa kepemimpinan alias leadership, tetapi lebih penting lagi jiwa yang sehat. Berbagai tugas berat dan tantangan menghadang sepanjang masa pengabdiannya.

Pemimpin yang ”sakit” rawan membuat rakyat menderita. Tidak terlalu mengherankan bahwa dalam pemilihan presiden dan calon menteri, tes kesehatan jiwa ikut menjadi persyaratan.

Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), sekaligus Ketua Tim Penguji Kesehatan Calon Menteri, Brigjen TNI Supriyantoro mengatakan, calon menteri menjalani tes kejiwaan tertulis dan wawancara. Lewat tes itu didapatkan, antara lain, profil kepribadian, kemampuan menghadapi stres, berkomunikasi, dan kematangan jiwa. Untuk tes kejiwaan tertulis, calon menteri disodori sekitar 500 pertanyaan.

Pemimpin berjiwa sehat

Dr Hervita Diatri, SpKJ dari Departemen Psikiatri Universitas Indonesia senang dengan dimasukkannya kesehatan jiwa sebagai salah satu pertimbangan calon menteri. ”Pemimpin berjiwa sehat akan produktif dalam menjalankan tugasnya dan tentunya keputusan yang diambil lebih baik,” ujarnya.

Individu berjiwa sehat mampu menerima kondisi (kelebihan dan kekurangan) dirinya dan orang lain serta mampu beradaptasi. Individu tersebut merasa bahagia dan sejahtera. Dia mampu menghadapi tantangan, baik diprediksi maupun tidak.

Bagi para pemimpin, mereka juga harus dapat menyadari bahwa dirinya tidak sendirian dalam menghadapi hal kompleks terkait tugasnya. Dengan demikian, pemimpin itu akan merasa perlu mendengarkan dan mengakses orang lain yang berpotensi.

”Jika tidak, dia bisa menyalahkan dirinya sendiri dan orang lain sehingga mengganggu sistem. Selama ini ada kesan pemimpin harus tahu segalanya,” ujarnya. Hal yang tidak boleh dilupakan, di Indonesia pemimpin merupakan panutan—dia akan memengaruhi masyarakat.

Tes kejiwaan terkait kepemimpinan umumnya mencakup tes kepribadian guna melihat kecenderungan gangguan jiwa tertentu. Misalnya, cenderung depresi, kecemasan, dan psikotik (ketidakmampuan menilai kenyataan), seperti curiga berlebihan ada yang mau menjatuhkan. Intelligence quotient (IQ) yang terkait dengan kemampuan memecahkan permasalahan juga diuji. Terdapat pula tes kemampuan melihat kelebihan dan kekurangannya. ”Juga kemampuan bekerja dalam tim, posisi sebagai pemimpin, dan gaya kepemimpinan,” ujarnya.

Pengaruhi produktivitas

Tidak hanya bagi pemimpin kesehatan jiwa sangat penting sebagai bangsa. Kesehatan jiwa memengaruhi kualitas kesehatan dan produktivitas seseorang. Hari-hari produktif yang hilang (disabilty-adjusted life years/DALYs) sebesar 14 persen dari beban global penyakit, disebabkan masalah kesehatan jiwa. Sekitar 3/4 beban global penyakit neuropsikiatrik didapati di negara-negara berpenghasilan rendah. Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, yang jatuh setiap 10 Oktober, pada tahun ini sekaligus merupakan kampanye kesadaran global agar kesehatan jiwa menjadi prioritas.

Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menyebutkan, prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia meliputi gangguan kecemasan dan depresi secara nasional adalah 11,6 persen dari populasi orang dewasa—usia di atas 15 tahun. Dengan populasi orang dewasa sekitar 150 juta, sekitar 1.740.000 orang Indonesia mengalami gangguan mental emosional.

Sejauh mana seseorang dapat dikatakan mengalami masalah dan gangguan kesehatan jiwa? Hervita mengatakan bahwa sebagian besar orang pernah mengalami problem kesehatan jiwa. ”Orang itu mempunyai masalah, tetapi tidak mengganggu fungsinya. Contohnya, seseorang masih mampu berangkat bekerja, tetapi tidak bersemangat,” ujarnya.

Gangguan kesehatan jiwa berspektrum luas. Sekretaris Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Danardi Sosrosumihardjo mengungkapkan, setidaknya ada 284 diagnosis gangguan jiwa, mulai dari gangguan ringan hingga berat. Definisi gangguan jiwa sendiri adalah apabila ditemukan penurunan fungsi sebagai manusia dan ada keluhan. ”Terkait penurunan fungsi, individu tidak mengeluh, tetapi orang lain melihat perubahan perilakunya,” ujar Danardi.

Bentuk keluhan terdiri dari keluhan fisik (somatis), seperti tidak bisa berpikir, tidak bisa tidur, sakit kepala, dan jantung berdebar. Ada juga yang mengeluhkan perasaan, seperti benci, cemas, kesal, marah, dan takut.

Penetapan gangguan sedang hingga berat biasanya dengan memeriksa kemungkinan cedera di otak. ”Belum tentu ada kerusakan makro otak, tetapi gangguan mikro di neurotransmiter dan hormon, misalnya, dapat menjadi kronis. Gangguan jiwa berat mengganggu perilaku sehari-hari, baik untuk dirinya sendiri maupun secara sosial.

Menurut Danardi, ada tiga penyebab gangguan jiwa. Pertama, faktor genetik yang bersifat herediter (keturunan) ataupun congenital (terjadi gangguan saat dalam kandungan). Kedua, faktor kepribadian yang berhubungan dengan kematangan pembentukan karakter. Ketiga, berkaitan dengan stressor (ancaman) internal ataupun eksternal. Penyebab tersebut bisa berdiri sendiri atau kombinasi.

Pembangunan

Dr Albert Maramis, SpKJ dari Departemen Psikiatri UI, dalam seminar Hari Kesehatan Jiwa di Departemen Kesehatan, berpendapat, kemiskinan relatif dan stressor psikososial meningkatkan risiko masalah kesehatan jiwa. Stressor psikososial terkait kekerasan, pengangguran, pengucilan sosial, ketidakamanan, rendahnya pendidikan, dan ketimpangan masyarakat.

Pembangunan masyarakat dan ekonomi berguna untuk memulihkan dan meningkatkan kesehatan jiwa. Program pembangunan yang bertujuan mengurangi kemiskinan, kemandirian ekonomi, pemberdayaan perempuan, meningkatkan pendidikan, serta memberdayakan masyarakat dapat menjadi pencegahan gangguan jiwa dan mempromosikan kesehatan jiwa. Itu hanya bisa dicapai di bawah pemimpin yang berjiwa sehat tadi.

Indira Permanasari

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com