Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

National Summit Rekomendasikan Peningkatan Status Desk Antiteror

Kompas.com - 30/10/2009, 22:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Menko Polhukam Djoko Suyanto mengaku menyambut gembira telah terjadi kesamaan pemahaman antara pemerintah dan kalangan masyarakat, terutama terkait rencana untuk meningkatkan status Desk Antiteror, yang selama ini berada di bawah kementeriannya, menjadi badan khusus yang juga menangani isu pencegahan dan pemberantasan terorisme.

Badan tersebut, menurut Djoko, dirancang agar penanganan masalah terorisme tidak lagi sekadar dilakukan ketika aksi-aksi terorisme sudah terjadi, tetapi lebih ke tindakan pencegahan sejak dini sebelum aksi teror terjadi. Pernyataan itu disampaikan Djoko, Jumat (30/10), seusai penutupan National Summit 2009 di Jakarta oleh Wakil Presiden Boediono.

Badan itu, selain terdiri dari instansi dan departemen pemerintah terkait, juga akan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Lebih lanjut, Djoko menjamin bahwa badan yang akan dibentuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu dengan menghasilkan badan-badan represif macam terjadi di masa Orde Baru, seperti pembentukan Komando Penanggulangan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

“Selama Menko Polkam-nya masih saya, enggak perlu khawatir lah badan seperti itu (Kopkamtib) muncul lagi. Dalam diskusi tadi sudah ada kesadaran bersama antara pemerintah dan masyarakat, masalah terorisme tidak lagi sekadar urusan polisi, melainkan juga tanggung jawab bersama. Penanganan harus dilakukan dari akar persoalannya dan bagaimana sampai bisa terorisme terjadi,” ujar Djoko.

Pembentukan badan khusus terkait upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme tadi, menurut Djoko, merupakan salah satu rekomendasi yang dikeluarkan Komisi V National Summit 2009, Sidang Komisi Bidang Polhukam, yang memang membahas kedua isu tersebut. Sidang komisi bidang polhukam itu terbagi ke dalam lima komisi, yang membahas berbagai isu seputar polhukam.

Komisi I membahas isu Efektivitas Pembangunan Daerah, Komisi II membahas Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi, Komisi III membahas Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, Komisi IV membahas Reformasi Hukum dan Perlindungan HAM, dan Komisi V membahas Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme.

Lebih lanjut, Komisi V juga merekomendasikan upaya penguatan kewenangan penahanan pelaku terorisme oleh kepolisian seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Caranya dengan menambah masa penahanan, yang bisa dilakukan oleh kepolisian terhadap para tersangka teroris. Masa penahanan yang diatur dalam UU tersebut dinilai masih kurang dan tidak memberi keleluasaan bagi kepolisian untuk mengembangkan penyelidikan mereka. Selain itu, juga direkomendasikan agar terdapat kerja sama penggunaan data intelijen dari sumber-sumber yang ada semaksimal mungkin oleh kepolisian.

Kekhawatiran bakal berulangnya kebijakan pembentukan badan represif seperti di masa lalu disampaikan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, yang ikut dalam proses diskusi di Komisi V. Hal itu disampaikannya seusai acara. Buyung mewanti-wanti agar jangan sampai kesalahan di masa lalu kembali terulang. "Pembentukan badan baru harus dilakukan dengan hati-hati," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Edy Prasetyono, yang berperan sebagai fasilitator diskusi Komisi V National Summit 2009, menyatakan, dalam diskusi juga terungkap usulan agar pemerintah juga memikirkan cara deradikalisasi terhadap gerakan dan pelaku teroris lantaran infiltrasi paham-paham radikal sudah sedemikian meresahkan, bahkan sudah masuk ke kalangan mahasiswa dan pelajar.

“Kalau di beberapa negara maju kan masa penahanan malah bisa sampai satu bulan. Dalam diskusi juga berkembang banyak pendapat dan masukan, misalnya, soal bagaimana penguatan lembaga-lembaga terkait yang ada sekarang ketimbang membentuk badan baru. Namun, tadi terlihat semua pihak sadar betul sekarang tidak dibutuhkan lagi produk UU yang keras macam Internal Security Act ala Singapura atau Malaysia,” ujar Edy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com