Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Multikultural di Yogyakarta

Kompas.com - 04/11/2009, 11:34 WIB

Oleh Zuly Qodir

Lima tahun terakhir, di Yogyakarta sangat ramai diskusi tentang multikulturalisme dibahas. Bukti saking maraknya bisa kita perhatikan lembaga-lembaga nirlaba yang mengonsentrasikan pada tema multikulturalisme. Sebut saja Impulse, Multiculture Campus Realino, Institute Multiculturalism "Kunci" Yogyakarta, dan lembaga-lembaga yang tidak langsung menempelkan "multikulturalisme", tetapi konsentrasi pada tema ini sangat banyak.

Fenomena itu tentu menarik diperhatikan terkait identitas Yogyakarta sebagai daerah dengan banyak identitas lokal. Sebut saja Yogyakarta adalah City of Tolerance, Yogyakarta adalah kota budaya, Yogyakarta adalah kota pendidikan, Yogyakarta adalah kota wisata, sampai Yogyakarta adalah Indonesia mini.

Sebutan-sebutan ini tentu bukan tanpa makna. Penyebutan itu penuh makna simbolik yang sangat dalam bagi mereka yang memahaminya. Memang bagi mereka yang tak perduli dengan Yogyakarta akan mengatakan bahwa semuanya hanya sebutan belaka, nyaris tanpa makna apa pun.

Sesungguhnya pengalaman sehari-hari terlalu banyak yang bersentuhan dan bersendikan multukulturalisme. Namun, pengalaman tersebut tidak terdokumentasi dengan baik sehingga mudah hilang dan dianggap suatu yang remeh-temeh padahal sangat berharga untuk merajut masa depan konsep multikulturalisme. Oleh karena itu, pengalaman multikultural yang telah kita miliki harus terdokumentasi dengan baik, syukur-syukur sistematik sehingga kita tidak kehilangan jejak dengan tapak-tapak publik multikulturalisme.

Pengalaman multikulturalisme dengan demikian sesungguhnya akan memberikan landasan yang sangat kuat pada siapa pun untuk menjadi seorang multikulturalis dalam masyarakat. Betapa sulitnya memberikan penjelasan kepada mereka yang dalam hidupnya hanya bertemu dengan mereka yang satu "grup" dan "satu mainstream" untuk dapat mendengarkan, merasakan, apalagi menerima orang yang "berbeda" dengan dirinya.

Namun, akan dengan mudah kita bisa memberikan penjelasan kepada mereka yang memiliki pengalaman hidup bertemu dengan "banyak orang" dan "orang yang berbeda" dengan dirinya sehingga agar bisa menghargai, menghormati, dan bersedia menerima dengan senang hati dan lapang menerima. Inilah pengalaman multikultural yang akan menjadi bekal pada mereka menapaki jalan hidup ke depan.

Oleh sebab itu, pengalaman hidup multikultural harus dirawat dan terus disemaikan akan benih-benih kebersamaan, benih persaudaraan, dan benih penghormatan terus membesar dan semakin banyak di masyarakat. Pengalaman hidup multikultural akan sangat membantu mereka menjadi manusia Indonesia (manusia Yogya) yang penuh toleransi dan penghargaan atas keragaman. Inilah manusia Yogyakarta yang telah bisa melampaui sektarianisme, gethoisme, dan parokialisme berbasis pengalaman multikultural. Pendidikan multikultural Jika diskusi multikulturalisme hanya berkisar di ruang diskusi "bebas" seperti saya sebutkan di atas, di ruang-ruang diskusi lembaga nirlaba, bukan lembaga yang mengelola pendidikan secara resmi (reguler), ada kekhawatiran akan menguap begitu saja.

Oleh sebab itu, untuk terus menyambungkan diskusi multikulturalisme di Yogyakarta, gagasan bagaimana mendesain sebuah kurikulum pendidikan di tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi menjadi sangat urgen dilaksanakan. Hal ini mengingat persoalan multikulturalisme juga masih sering dipahami secara salah dan tidak proporsional sehingga sebagian orang alergi dengan istilah multikulturalisme.

Sebagai topik diskusi, multikulturalisme memang memperkaya wawasan anak-anak bangsa tetapi dalam praksis lapangan sering kali tidak dilaksanakan oleh mereka yang juga sering asyik berdebat tentang multikulturalisme. Keasyikan hanya berhenti pada kosakata yang bertendensi retorik, tetapi miskin pelaksanaan. Ada kesan keengganan menjadi seorang multikulturalis karena ada anggapan di masyarakat menjadi seorang multikulturalis identik dengan orang yang "serba boleh" dan tidak jelas memiliki identitas yang dianut.

Karena itu, menjadi seorang multikulturalis menjadi seakan-akan pisau bermata dua dan bak buah simalakama. Tidak mempergunakan maka akan mengenai dirinya, tetapi menggunakannya juga penuh risiko negatif harus ditanggung. Dia bisa membunuh diri sendiri sekaligus dibunuh orang lain. Inilah persoalan dilema-dilema yang sangat serius dalam diskursus multikulturalisme.

Memerhatikan demikian problematiknya persoalan multikulturalisme, pendidikan multikulturalisme, hemat saya, memang harus dikenalkan sejak dini dan sejak sekarang karena memperlambat memperkenalkan persoalan multikulturalisme sama dengan memberikan tandonan benih-benih konflik yang akan sangat berbahaya. Mengapa konflik yang akan menjadi bagian dari multikulturalisme?

Hal ini karena konsep multikulturalisme sendiri di negeri ini sekalipun sudah berjalan beratus-ratus tahun dalam praksis kehidupan baru diteorikan sejak awal 1990-an itu pun di kawasan Eropa dan Amerika bukan di Indonesia. Pendeknya, di negeri multikultural sendiri masih gagap mendiskusikan soal multikulturalisme.

Untuk mengurangi kegagapan dan kegaguan dalam mendiskusikan dan mempraktikkan multikulturalisme harus dimulai sejak dini, dan diperkenalkan di sekolah-sekolah yang secara reguler menerima siswa didik baik mereka berumur sekolah dasar maupun berumur perguruan tingggi.

Dengan memperkenalkan diskursus multikulturalisme dalam dunia pendidikan melalui kurikulum pendidikan berperspektif multikultur, lambat laun, namun pasti identitas Yogyakarta sebagai kota budaya, kota toleran, kota multi-SARA akan tetap terjaga di saat gempuran gethoisme, parokialisme, serta sektarianisme semakin semarak.

Kita jadikan Yogyakarta dengan pendidikan berbasis dan berperspektif multikulturalisme sehingga di masa-masa mendatang kita akan tetap menciptakan sikap dan perilaku toleran di saat sebagian dari kita bersikap intoleran dan agak antikeragaman. Pendidikan itulah kunci utamanya, bukan yang lain.

Tentu banyak dari kita tidak menghendaki bila Yogyakarta yang dicintai lalu menjadi kota "syariah" atau "kota agama" karena dominannya aspek agama menjadi bagian dari aturan dalam tata kelola kenegaraan (pemerintahan). Buat saya, cukuplah Yogyakarta dengan warna yang sekarang ini: berkultur abangan, santri, dan priayi bukan berkultur "murni santri" atau "murni abangan" atau "murni priayi".

Selamatkan Yogyakarta dengan pendidikan multikultural adalah jalan yang harus ditempuh oleh para pegiat kebangsaan, para pegiat keagamaan, para pegiat pendidikan, para seniman, dan para pegiat apa saja. Zuly Qodir Pendidik di Sekolah Pascasarjana UGM dan Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY, Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com