Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar Korupsi di Program Kreativitas Mahasiswa

Kompas.com - 09/11/2009, 17:04 WIB

Oleh Surahmat

Seperti tahun sebelumnya, tahun ini Departemen Pendidikan Nasional melalui Dirjen Dikti menggulirkan Program Kreativitas Mahasiswa untuk menampung kreativitas mahasiswa di bidang teknologi, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kewirusahaan. Dana yang digelontorkan pemerintah tidak sedikit. Sayang, dalam praktiknya, program ini justru memunculkan potensi korupsi bagi mahasiswa yang terlibat.

Tulisan ini menjadi semacam otokritik supaya potensi korupsi tidak berkembang menjadi tindak pidana korupsi yang sesungguhnya. Atau setidaknya supaya pelajaran korupsi dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tidak dipraktikkan mahasiswa ketika menjadi pejabat publik di kemudian hari.

PKM sebenarnya sudah menunjukkan itikad baik pemerintah untuk mengembangkan aktivitas penelitian di kalangan mahasiswa. Program ini juga memberi mahasiswa alternatif kegiatan, selain unit kegiatan mahasiswa atau badan eksektuf mahasiswa yang telah ada di perguruan tinggi. Dengan begitu, mahasiswa tidak terjebak pada aktivitas 3K yang menjadi momok aktivitas intelektual; kos-kampus-kantin.

PKM adalah salah satu wujud dari Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan di Perguruan Tinggi (PBKPT) yang dicanangkan DP2M Dikti. Inilah satu-satunya program yang dapat diakses dan dilaksanakan mahasiswa karena program lainnya seperti Kuliah Kewirausahaan (KWU), Kuliah Kerja Usaha (KKU), Magang Kewirausahaan (MKU), Konsultasi Bisnis dan Penempatan Kerja (KBPK), dan Inkubator Wirausaha Baru (Inwub) diperuntukkan bagi dosen.

Sayangnya, selalu ada jarak antara konsep dan penerapan. Sebagaimana teori-teori yang kesulitan diaplikasikan, banyak kendala yang membuat PKM mencapai tujuan yang ditetapkan. Justru PKM secara tidak sengaja mengajari mahasiswa melakukan tindakan korupsi. Mekanisme yang dieluarkan Dikti tidak realistis dan menuntut mahasiswa yang terlibat kreatif ngakali aturan.

Untuk melihat potensi korupsi, kita perlu melihat tiga hal, yakni pembuat regulasi, pola asuh, dan mahasiswa itu sendiri. Ketiganya memunculkan potensi korup.

Pertama, sebagai pembuat tetek-bengek peraturan, Dikti menetapkan aturan yang tidak realistis dan nyaris mustahil dilakukan. Misalnya, dalam panduan PKM yang diterbitkan DP2M, biaya program yang akan digelontorkan maksimal Rp 6 juta. Penetapan nominal ini membuat mahasiswa mengajukan anggaran maksimal meskipun programnya tidak memerlukan biaya sebesar itu. Jika kemudian proposal tersebut didanai, sisa biaya program tentu akan digunakan untuk kepentingan lain. Dalam konteks ini, mahasiswa dilatih me-mark up anggaran untuk memperkaya diri, yang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diancam denda antara Rp 20 juta hingga Rp 1 miliar.

Dalam praktiknya, biaya program tidak digelontorkan DP2M dalam satu tahap. Di beberapa perguruan tinggi, biaya program diturunkan dalam tiga tahap, yakni awal, pada pertengahan program, dan setelah laporan selesai disusun. Hal ini realita yang janggal karena membuat mahasiswa melaporkan dana yang sebenarnya belum mereka gunakan. Laporan yang disampikan adalah laporan fiktif yang diotak-atik sedemikian rupa supaya menghabiskan seluruh biaya program.

Sebuah laporan mestinya disusun setelah program selesai dilaksanakan sebagai bentuk pertanggungjawaban. Namun, dalam PKM, laporan menjadi berkas yang bersifat formal, sekadar memenuhi kewajiban. Karena laporan dibuat sebelum pencairan dana tahap ketiga, dana tersebut menjadi tidak terdekteksi penggunaannya. Sangat mungkin mahasiswa menggunakannya untuk keperluan lain, seperti jajan, bayar kuliah, atau bahkan belanja keperluan pribadi. Menggunakan anggaran pada pos yang tidak semestinya jelas perilaku korup.

Selain penataan regulasi, potensi pendidikan korupsi semakin subur karena pola asuh yang tidak tepat. DP2M yang berlaku sebagai penyelenggara kegiatan tidak menyiapkan mekanisme pendampingan, pengawasan, dan evaluasi yang baik sehingga program ini tidak terkontrol.

Pengawasan

Memang kita harus mengakui keterbatasan DP2M mengawasi seluruh program yang dijalankan mahasiswa. Mengingat program yang dijalankan mencapai ribuan, DP2M tidak mungkin mengawasi satu per satu. Karena itulah, DP2M menyerahkan pendampingan kepada dosen di setiap perguruan tinggi. Sayang, dosen juga tidak melakukan pendampingan dengan baik karena tidak ada anggaran pendampingan. Apalagi dosen juga disibukan oleh kuliah, program pengabdian masyarakat, sekaligus penelitian.

Meski pendampingan luput, mestinya kejanggalan pada PKM terbaca saat DP2M melakukan monitoring. Namun, sekali lagi harus disayangkan karena monitoring dari DP2M hanya dilakukan dua kali selama program berjalan. Selama ini, monitoring hanya dilakukan dengan wawancara dan hanya sesekali dilakukan peninjauan sehingga mahasiswa bisa membuat laporan perkembangan sesukanya.

Potensi korup juga terjadi ketika mahasiswa menyampikan laporan akhir program. Karena laporan harus disampikan, bahkan sebelum biaya program dicairkan, laporan hanya berisi berbagai kemungkinan. Laporan penggunaan dana diotak-atik supaya habis. Artinya, mahasiswa dibiasakan membuat laporan fiktif yang berpotensi merugikan negara.

Kondisi di atas semakin runyam jika melibatkan oknum dengan mentalitas uang. Baik mahasiswa maupun dosen ada yang memanfaatkan PKM sebagai alat mencari penghasilan. Sebab bagi mahasiswa, nominal Rp 7 juta sangat menggiurkan. Oleh mahasiswa, Rp 7 juta bisa diterjemahkan dengan satu unit laptop terbaru, biaya kos selama tujuh tahun, atau sepeda motor second.

Kenyataan di atas tentu memprihatinkan sebab PKM diselengarakan dan didanai pemerintah. PKM memang mampu mengembangkan khazanah keilmuan, tapi jika mekanismenya tidak diubah justru akan membiasakan mahasiswa melakukan tindakan korupsi. Sebab merujuk Pasal 2 UU Tipikor, korupsi bukan semata-mata tindakan korupsi, melainkan juga dalam bentuk potensi.

Surahmat Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang, Pegiat Komunitas Nawaksara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com