DENPASAR, KOMPAS.com — Aksara Bali yang diwarisi hingga kini oleh masyarakat di Pulau Dewata belum menyediakan bunyi-bunyian untuk menyerap bahasa Indonesia maupun bahasa asing.
"Harus disadari bahwa bahasa Bali tidak dapat menghindari penyerapan bahasa nasional maupun bahasa asing, sehingga pengembangan aksara Bali merupakan kebutuhan yang mendesak," kata dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Dr I Nyoman Suarka, MHum, di Denpasar, Minggu (15/11).
Ia mengatakan, untuk itu pengembangan aksara Bali perlu diarahkan untuk pengadaan jenis dan fungsi aksara. Selain itu, perlu membuat jenis aksara Bali yang baru dengan melengkapi aksara Bali yang telah ada guna melambangkan bunyi-bunyian bahasa sumber yang akan menjadi sumber penyerapan bahasa daerah Bali.
Nyoman Suarka menilai, pengadaan jenis aksara Bali yang baru bukan sekadar untuk menuliskan unsur serapan, melainkan juga untuk menulis teks-teks berbahasa internasional. Dalam sistem penulisan unsur serapan, tampaknya penuturan bahasa daerah Bali memiliki sikap cukup jelas, yakni bunyi-bunyian pada bahasa sumber unsur serapan dicarikan padanannya dalam aksara Bali.
Hal itu ditulis menurut pelafalan penutur Bahasa Bali. Sebaliknya, jika suatu teks menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa internasional ditulis dengan aksara Bali secara utuh tidak akan nyambung. Hal itu berbeda dengan teks berbahasa Sansekerta dan Jawa kuno yang sejalan dengan aksara Bali.
"Untuk itu memungkinkan bisa menciptakan aksara Bali baru untuk menuliskan teks-teks yang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa internasional," tanya Suarka.
Untuk itu, upaya mencermati sistem penulisan aksara Bali harus dilakukan secara berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Pengajaran aksara Bali dalam proses pendidikan berbasis teknologi informasi menjadi kebutuhan yang sangat mendesak yang diharapkan bisa dipenuhi, ujar Nyoman Suarka.