KOMPAS.com - Tulisan ini adalah karangan Sri Andiani, pelajar SMP Alam Insan Mulia Surabaya, yang memenangkan penghargaan Penulis Muda Indonesia 2009 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Perwakilan UNICEF di Indonesia, serta YKAI. (Redaksi)
SEKILAS, orang-orang yang melihat saya berfikir bahwa tidak ada yang salah pada diri saya. Saya bisa berbicara dengan lancar, mendengar dengan baik, fisik saya juga tidak ada yang cacat. Tapi, saya sesungguhnya adalah seorang tuna rungu.
Percaya atau tidak, inilah saya. Saya seorang tuna rungu sejak lahir. Saya didiagnosa tuli berat, yang kemampuan mendengarnya di atas 90 db (desibel). Para dokter menyarankan Mama saya untuk mengajari bahasa isyarat dan menyekolahkan saya di SLB. Namun, Mama justru melatih saya untuk mendengar dan berbicara seperti orang normal lainnya, agar saya bisa bersekolah di sekolah umum.
Menurut Mama, jika bersekolah di sekolah umum, peluang saya kelak untuk bisa bekerja dan berbaur dengan masyarakat umum semakin luas. Mama berharap, kelak saya bisa mendapatkan kesempatan untuk memberikan sumbangsih saya pada masyarakat. Ya, sebagaimana warga negara lain yang mandiri, berkarya, dan berprestasi di tengah-tengah masyarakat!
Bermodal alat bantu dengar dan semangat tinggi, Mama melatih saya belajar mendengar dan berbicara. Ia mendampingi saya setiap saat, terus melatih saya untuk mengembangkan bahasa verbal.
Kurang lebih di usia 3 tahun, saya dioperasi cochlear implant, yaitu operasi yang bertujuan menanamkan suatu alat atau disebut implant ke dalam cochlear atau rumah siput. Tujuannya, agar saya bisa mendengar lebih jelas.
Setelah dioperasi, Mama semakin intensif melatih saya mendengar, berbicara, dan berkomunikasi secara verbal. Kerja keras Mama dan semangat saya belajar akhirnya berbuah. Saya bisa berbicara dan mendengar dengan baik, bahkan saya mulai belajar mendengarkan radio dan berkomunikasi lewat telepon.
Selain belajar berbahasa verbal, Mama juga mengajarkan banyak keterampilan pada saya. Saat duduk di bangku TK, saya sudah lancar membaca dan menulis. Saya juga diajarkan berbagai kerajinan tangan dan diikutkan kursus Matematika dan menggambar.
Saat saya duduk di TK A, Mama mulai mencari SD yang cocok dengan kondisi saya. Mama sengaja mencari SD jauh-jauh hari, untuk mengantisipasi sulitnya mencari SD yang mau menerima saya.
Dugaan mama terbukti. Keterampilan dan kepandaian saya ternyata tidak cukup untuk membuat saya diterima. Pada awalnya, sebelum mereka tahu bahwa saya seorang tuna rungu, mereka mau menerima saya setelah dilakukan serangkaian wawancara singkat. Saya diberikan beberapa pertanyaan sederhana sebelum akhirnya diputuskan untuk diterima.
Namun, setelah Mama memberitahu kondisi pendengaran saya, pihak sekolah mulai ragu-ragu. Memang, ada beberapa sekolah yang secara terang-terangan menolak. Tetapi, ada juga yang menyatakan keberatannya secara halus.
Ada saja alasan sekolah-sekolah itu untuk mengatakan tidak pada saya. Saya tidak boleh masuk sekolah umum, tetapi dianjurkan masuk SLB. Pendeknya, saya dianggap tidak mampu dan hanya akan menjadi beban di sekolah umum.
Kiranya, butuh waktu, tenaga dan usaha keras, sebelum akhirnya Mama menemukan sekolah yang mau menerima saya dengan lapang dada. Mama bilang, "Butuh waktu hampir 2 tahun untuk mencari SD yang mau menerimamu".
Ada saatnya, Mama hampir putus asa dan menyuruh saya menunjukkan kebolehan saya. Saya disuruh mama membaca keras di depan mereka, disuruh menerima telepon hanya sekadar untuk menunjukan, bahwa saya memang bisa mendengar. Bahkan, ditanya beberapa kosa kata dalam Bahasa Inggris, dan lain-lain. Tapi, toh, mereka tetap saja kukuh pada pendiriannya; tidak menerima saya untuk bersekolah di sana.
Menjelang lulus TK B, Mama menerima kabar, ada sekolah yang tidak mempersoalkan kondisi saya. Sekolah tersebut memberi kesempatan bahwa siapapun yang lulus tes kepribadian dan kemandirian akan diterima menjadi siswa.
Dengan penuh percaya diri, Mama mendaftarkan saya. Beberapa hari kemudian, kami sekeluarga bersyukur setelah mendapat kabar bahwa saya berhasil diterima. Ya, saya diberi kesempatan oleh sekolah itu.
Lalu, apa yang terjadi kemudian? Apakah saya mengalami kesulitan di sana? Ya, saya akui, ketika di awal bersekolah, saya agak kesulitan menyerap pelajaran dan dalam bersosialisasi dengan teman sebaya. Karena, terkadang guru-gurunya terlalu cepat menerangkan suatu pelajaran. Situasi kelas agak ribut, sehingga saya harus ekstra konsentrasi untuk mendengarkan guru.
Teman-teman juga menganggap saya aneh. Itu karena melihat ada alat bantu dengar di telinga kanan saya.
Seiring perjalanan waktu, akhirnya teman-teman saya mulai mengerti dan mau menerima saya. Bahkan, mereka mau membantu apabila saya mengalami kesulitan.
Hari ke hari, saya semakin menikmati sekolah saya. Saya berhasil meraih beberapa prestasi di sekolah. Dalam pelajaran sains, saya selalu mendapat nilai tertinggi, sampai akhirnya dijuluki "professor sains" oleh teman-teman saya.
Saat duduk kelas 3 SD, saya mendapat beasiswa dari AG Bell Foundation atas prestasi saya di sekolah umum. AG Bell Foundation memberikan beasiswa bagi anak tuna rungu yang berhasil berprestasi di sekolah umum dalam bidang akademis, olahraga, atau seni.
Selain itu, saya juga dipercaya menjadi perwakilan kelas dalam lomba Dai Cilik antar Kelas. Lomba dakwah cilik yang diselenggarakan oleh sekolah itu memberikan kepercayaan yang luar biasa pada saya, bahwa yang tuna rungu ini mampu berpidato dan berdakwah di depan guru dan teman-teman sekolahnya.
Saya juga sering meraih prestasi dan juara yang diselenggarakan oleh sekolah dalam memperingati suatu momen atau perayaan seperti pada Hari Kartini dan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Ya, saya berhasil meraih juara 1 dalam lomba menulis riwayat Nabi Muhammad SAW, juara 2 dalam lomba menggambar wajah Ibu Kartini, dan juara 3 dalam lomba menggambar kaligrafi. Kebetulan, saya memang senang menulis puisi, sehingga jika sekolah saya kedatangan tamu, bersama beberapa teman kami menampilkan kebolehan kami. Kerapkali, sayalah yang membacakan puisi karangan saya atau diminta untuk menuliskan puisi untuk ditampilkan.
Saya juga pernah ikut menyanyi bersama teman-teman ketika ada tamu yang berkunjung. Di rumah, Bapak dan Mama terus memotivasi saya untuk menggali potensi saya. Saya, yang memang senang menggambar sejak kecil, diberi kesempatan oleh Mama untuk memajangnya di rumah atau di kantor Mama.
Mama dan Bapak punya sebuah yayasan yang mengajarkan anak tuna rungu berbicara dan berbahasa verbal. Suatu saat, kantor Mama kedatangan tamu dari Australia bernama Ms. Vikki dan kebetulan, saat itu saya sedang ada di kantor Mama.
Saya berbincang-bincang dengan Ms.Vikki. Di akhir pembicaraan, Ms. Vikki membeli lukisan saya dan memesan dua buah lukisan lagi untuk dibawanya pulang ke Australia.
Rasanya, saya seperti sedang di atas awan! Sangat senang, hati saya sangat senang. Ada orang yang membeli lukisan saya, dan menganggap bahwa karya saya indah.
Ya, saya membuatkan lukisan lagi untuknya, yang gambarnya adalah anak-anak sedang tersenyum bahagia dengan pelangi di atasnya. Ms. Vikki juga senang menerima lukisan saya.
Di awal SMP, saya diberangkatkan bersama beberapa teman oleh sekolah saya untuk menjadi wakil sekolah dalam olimpiade se-Surabaya dan sekitarnya. Meskipun akhirnya saya tidak menang, tetapi pengalaman tersebut sangat berkesan buat saya.
Belajar dari pengalaman, pada 1990 orang tua saya bersama orang tua lain yang senasib sepenanggungan ini membentuk suatu komunitas. Tujuannya, kami bisa saling membantu dan berbagi cerita tentang pengalamannya bersama anak-anak yang tuna rungu.
Akhirnya, pada tahun 2004, komunitas ini mulai dilegalkan dengan nama Yayasan Aurica. Tujuan yayasan ini, seperti yang sudah disebutkan di atas, untuk mengajarkan anak tuna rungu berbicara, mendengar dan berbahasa verbal, serta mendorong mereka untuk mampu bersosialisasi dengan masyarakat luas, serta kelak mampu menjadi warga masyarakat yang aktif memberikan kontribusinya bagi Negara.
Murid-murid yayasan itu berasal dari berbagai daerah di penjuru Indonesia, terutama dari Indonesia bagian timur. Ada yang datang dari Bali, Madura, Yogjakarta, Semarang, bahkan dari Kalimantan. Berbekal harapan dan semangat, para orangtua yang tidak semuanya mampu itu datang ke Aurica dan melatih anak-anak mereka agar kelak bisa bersekolah di sekolah umum dan kemudian meraih mimpi-mimpi mereka.
Tentunya, usaha para orangtua itu tidaklah mudah. Dibutuhkan suatu proses yang panjang dan sulit. Jadi, jangan menyangka bahwa anak yang awalnya tuli itu tiba-tiba bisa menjadi seperti orang normal yang bisa mendengar dan berbicara.
Ada waktu, ada usaha keras, ada semangat yang tidak boleh padam. Ada air mata, ada tetesan peluh, serta doa-doa berkepanjangan yang menyertai setiap usaha orangtua.
Hasil memang menyertai usaha yang dilakukan. Banyak anak-anak Aurica yang kemudian mampu berbicara dan berbahasa dengan baik. Ada yang mampu menyanyi dengan merdu, ada yang mampu bermain musik, ada juga yang akhirnya menguasai 2 atau 3 bahasa sekaligus.
Namun ironisnya, kami para tuna rungu tetap saja menjadi kaum minoritas yang hak-haknya tidak selalu mendapat perhatian. Mereka, anak-anak tersebut tetap kesulitan mencari sekolah umum yang mau menerima mereka. Untuk yang berkantong tebal tidak terlalu menjadi masalah, karena sekolah-sekolah swasta masih banyak yang mau menerima asalkan mereka bersedia membayar SPP dengan lebih mahal.
Terus terang, saya bisa menjadi seperti ini karena sekolah saya mau memberi kesempatan pada saya untuk berkarya dan berprestasi. Tetapi, berapa banyak sekolah yang mau memberi kesempatan seperti itu?
Tentu saja ada, tapi jumlah sekolah yang mau melakukan itu hanya sedikit. Masih bisa dihitung dengan jari. Sementara itu, anak-anak yang tidak beruntung tersebut sangatlah banyak, hingga tak bisa lagi dihitung dengan jari.
Sekolah-sekolah umum biasanya selalu menolak anak-anak seperti saya dan anak-anak yang cacat lain dengan berbagai alasan. Ada beberapa sekolah umum yang mau menerima dengan mensyaratkan adanya guru pendamping, yang biaya untuk membayarnya seringkali lebih mahal dari SPP-nya.
Ada pula beberapa sekolah yang meminta biaya SPP, uang gedung dan uang ekstra yang jumlahnya 2 kali lipat dibanding teman-temannya yang normal. Misalnya, normalnya harga SPP senilai Rp 500.000, tetapi karena si anak ini cacat, maka orangtuanya harus membayar 2 kali lipatnya atau sebesar Rp 1.000.000.
Jadi, memang hanya orang-orang yang berduit alias kaya saja yang bisa bersekolah. Sementara itu, orang-orang yang standar hidupnya menengah, apalagi yang rendah, itu tidak bisa bersekolah lantaran banyak sekolah umum yang tidak mau menerima mereka.
Terpaksa, anak-anak itu bersekolah di sekolah umum yang kekurangan murid, yang akhirnya terpaksa menerima. Padahal, tugas anak-anak itu adalah sebagai penerus bangsa kita yang harus dibekali pendidikan dan keterampilan sesuai dengan potensinya. Kalau anak-anak itu tidak mendapatkan ilmu atau tidak diberi kesempatan untuk berprestasi, bagaimana mereka bisa menggantikan generasi tua?
Ternyata, kami, anak-anak tuna rungu, jika diberi kesempatan juga mampu mengembangkan potensi diri kami. Alangkah indahnya, seandainya pemerintah memberi kami kesempatan seluas-luasnya untuk berkarya. Semoga harapan kami tercapai, agar kami juga mampu mengharumkan bangsa dengan tangan-tangan istimewa kami.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.