Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Siluet", Pesan Gabrielle untuk Para Pemimpin Bangsa

Kompas.com - 20/11/2009, 11:54 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com- Tulisan ini adalah karya Gabrielle Tatia, siswi SMA Santa Maria Cirebon, yang memenangkan penghargaan Penulis Muda Indonesia 2009 yang diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Perwakilan UNICEF di Indonesia, serta YKAI. (Redaksi)

PERJALANAN terasa sangat panjang bagi Panji Anggara, seorang calon legislatif. Duduk termenung di dalam mobil, memandangi hijaunya pepohonan serta indahnya pemandangan sawah. Sebuah spanduk besar membentang; "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bersama Panji Anggara, kita raih gemilangnya masa depan".

Kini, Panji sedang menepati sebuah janji kepada sang istri, yang memintanya mendatangi sebuah desa terpencil jika kelak terpilih menjadi calon legislatif. Dan, perjalanan ini adalah dalam rangka menepati janji tersebut.

Setelah hampir tujuh jam perjalanan, Panji beserta beberapa rekan dan istrinya sampai ke sebuah desa yang terletak di pinggiran Kota Solo, Jawa Tengah. Panji langsung terpana dengan keadaan sekelilingnya. "Ini sangat jauh dari yang kau bayangkan Panji," jelas sang istri.

Panji hanya menghela napas panjang dan mencoba menerima yang sedang terjadi. Tiba- tiba, seorang anak kecil datang ke arah rombongan Panji dan memberi ucapan selamat datang. "Apakah anak ini kepala desanya?" tanya Panji kebingungan.

Tentu saja, bukan. Karena dari kejauhan, tampak seorang pria separuh baya berlari ke arah Panji, lalu segera menjabat tangannya. "Perkenalkan, saya Joko, Kepala Desa Sukoharjo," kata pria itu.

"Saya Panji Anggara, ini istri saya Ayubi, dan ini rekan-rekan saya," jawab Panji.

Kemudian, Pak Joko beserta rombongan Panji berjalan menuju rumahnya. Bagi Panji, inilah kali pertama ia melangkahkan kaki di pedesaan. Dan, untuk kesekian kalinya ia kembali kebingungan akan pemandangan yang dilihat di sekitar desa itu. Banyak sekali anak kecil yang bermain atau hanya berdiri di depan pintu rumah.

"Pak, apakah di sini memang banyak anak kecil?" tanya Panji.

"Ya, banyak Pak, di sini hampir setengah penduduknya adalah anak kecil. Makanya, tadi kita disambut anak kecil," sela Joko.

Setidaknya, hal itu menjelaskan sedikit dari pertanyaan dalam benak Panji. Setelah beristirahat sejenak, Ayubi dan rekan-rekan Panji berpamitan untuk kembali ke Ibu Kota. Hanya Panji yang akan menetap di sini selama seminggu.

"Ji, kamu akan tahu jawaban bagaimana nantinya kamu akan menjalankan pemerintahan di sini," ucap Ayubi, sebelum meninggalkan Panji.

Hari ke hari

Panji melepaskan kepergian istri dan rekan-rekanya dengan hati yang gelisah. Penduduk di sini berjumlah 1.679 jiwa, terdiri dari 821 laki-laki dan 858 wanita. Setengahnya adalah anak-anak.

Raka, putra Pak Joko, mencoba menjelaskan. Panji kagum akan pengetahuan Raka tentang desanya. Ia meminta Raka untuk menjadi asisten pribadinya, yang akan menemani hari-harinya selama berada di desa itu.

Keesokan harinya, Panji terbangun oleh suara ayam berkokok. Ia bersiap lagi menjalani hari keduanya di Desa Sukoharjo. Tampak Raka sudah berdiri dengan tegapnya di depan kamar. Ia sudah siap menemani Panji, menjelajahi kembali pedesaan ini.

Kebetulan, Raka sedang menjalani liburan sekolah. Ia bebas berjalan-jalan, apalagi ayahnya pun sudah memercayai Panji.

Kemudian, keduanya melangkahkan kaki menyusuri pedesaan. Namun, belum lama kaki keduanya melangkah, pandangan Panji terarah pada anak-anak perempuan yang sedang melenggak-lenggok menari di sebuah pondok kecil.

"Kakak!" seru Raka, memanggil Seruni.

Ternyata, di antara anak-anak itu ada Seruni, kakak perempuan Raka. Panji, yang baru menyadarinya, hanya bisa tersenyum menyapa Seruni.

"Tarian apa ini?" tanya Panji penasaran.

"Ini adalah Tari Golek Tirto Kencono yang berasal dari Surakarta. Paman, kami ini sedang mencoba melestarikan kebudayaan Indonesia, supaya tidak diakui Negara tetangga lagi," ucap Raka, menyela dengan polosnya.

Panji terhentak mendengar ucapan yang keluar dari anak yang baru berusia 7 tahun itu. Panji lalu memilih untuk tinggal sejenak di pondok tempat berlatih tari itu. Ia mengagumi setiap gerakan dari tarian tersebut.

Sore harinya, Panji memilih untuk berada di rumah. Rupanya, ia masih menyimpan perasaan tidak nyaman berada di pedesaan itu, tetapi entah apa alasanya. Ia merenung seorang diri di pelataran rumah, sampai tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata Rico, teman Panji yang menelpon.

"Halo Panji, lagi di mana, lu? Gue ada di Desa Sukoharjo. Dari pada lu di situ, mendingan ikut gue, have fun. Mumpung lagi di Solo, gue jemput, ya?" kata Rico.

"Jangan! Nggak usah, nggak apa-apa. Lu tadi ada di desa mana?" tanya Panji, sambil langsung menutup ponselnya.

Sebuah jawaban

Kini, Panji memikirkan keadaannya. Berada di kediaman sederhana, dengan lingkungan sekitar yang jauh dari kata mewah. Jika ia masih memilih untuk bertahan, semua itu ia lakukan untuk Ayubi.

Pagi hari datang lagi. Mentari telah menyambut Panji untuk yang ketiga kalinya. Setelah sarapan, ia dan Raka kembali bersiap menjelajahi pedesaan. Kali ini, yang menjadi pusat perhatian Panji adalah kehidupan masyarakat sekitar yang ternyata dipenuhi oleh kekurangan.

Hati Panji sangat tersentuh ketika melihat seorang ibu yang sedang menyusui bayinya. Bayi itu menangis, karena anak-anaknya yang lain meminta makan. Namun, sang ibu mengatakan, mereka tak mempunyai beras sama sekali.

Perlahan, Panji menghampiri ibu tersebut dan dan memberikan sejumlah uang, sambil berkata, "Ibu, ini sedekah, mohon diterima, anggap ini adalah rejeki dari Yang Maha Kuasa".

Ibu tersebut menerima uang dengan senyum yang memancarkan kebahagiaan. Ia mengucapkan banyak terima kasih kepada Panji. Sebaliknya bagi Panji, hari itu membuatnya tersadar akan kehidupan rakyat kecil.

Hari berlalu begitu cepat. Tak terasa, Panji telah melewati lima hari berada di Desa Sukoharjo. Dan secara tiba-tiba, Raka meminta pertolongan Panji untuk membetulkan saluran air di desanya.

Akhirnya, Panji pergi bersama Raka ke tempat yang dituju. Sesampainya di sana, Panji langsung berbaur dengan penduduk yang sedang bergotong royong memperbaiki saluran air. Di situ, Panji melihat arti kebersamaan dan kerja sama dalam bergotong royong.

Dua jam berlalu, pekerjaan tersebut terselesaikan dengan baik. Panji, yang lelah segera kembali ke rumah dan beristirahat, rupanya masih mempertanyakan tujuannya di tempat ini dalam kegundahan hati dirasakannya.

Namun, ia mengingat ucapan sang istri, bahwa ia akan menemukan jawaban untuk menjalankan pemerintahan di sini. Maka, Panji mencoba untuk menemukan setiap jawaban itu.

Ketika berganti pakaian, Panji baru tersadar bahwa tidak terdapat dompet di saku celananya. Namun, sebelum ia sempat melaporkan kejadian itu pada pak Joko, terdenga suara ketukan pintu. Panji langsung membuka dan melihat sesosok anak lelaki.

"Pak, saya menemukan dompet. Benarkah Bapak ini adalah Panji Anggara, dan ini dompet Bapak?" tanya anak itu, sambil menyerahkan dompet tersebut.

"Ya, benar ini dompet saya," jawab Panji.

Panji menghembuskan napas lega. Panji lalu membuka dompet itu dan memeriksa isinya. Ternyata, semuanya masih sangat lengkap.

Anak tersebut langsung pergi dari hadapan Panji. Dan serta-merta, Panji memberhentikan langkahnya. "Siapa namamu, Nak?" tanya Panji. 

"Saya Adi," jawab anak itu.

Panji langsung mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan memberikannya pada Adi. 

Adi ternyata menolak. Ya, walaupun sudah dipaksa oleh Panji sekalipun, anak itu tetap menolaknya. Akhirnya, Panji hanya bisa mengucapkan terima kasih.

"Tadi paman hampir saja kehilangan dompet, namun ada seorang anak yang mengembalikan dompet ini. Kau, kenal Adi?" tanya Panji pada Raka. 

"Ya, dia teman baikku, Paman. Dia memang sangat jujur, mungkin karena cita-citanya ingin menjadi Presiden yang jujur dan adil," ujar Raka.

Melalui percakapan tadi, Panji menyadari sesuatu yang akan menjadi jawaban akan pertanyaannya. Dia merenungkan setiap kejadian dari hari ke hari dan semakin menemukan banyak pelajaran.

Sebuah Hikmah

Malam itu, adalah malam terakhir Panji berada di tengah penduduk Desa Sukoharjo. Pak Joko mempersiapkan acara perpisahan untuknya, yaitu dengan menggelar acara makan malam bersama seluruh penduduk desa. Sepertinya, kebersamaan mereka sangat membekas di hati Panji.

Di akhir acara, Pak Joko memberikan kenang-kenangan berupa papan nama yang berukirkan namanya. Mereka berharap, dengan benda itu Panji dapat mengenang mereka.

Melihat itu, Panji sadar akan satu hal, bahwa mereka adalah orang-orang yang tulus, memberi tanpa mengharap pamrih.

"Pak, saya ucapkan terima kasih banyak. Saya mendapatkan pelajaran berharga dari sini," ucap Panji.

"Sama-sama, Nak Panji, saya juga senang akan keberadaan Nak Panji. Terima kasih banyak telah membantu penduduk di sini," balas Pak Joko.

"Itu tidak seberapa Pak, dibandingkan hikmah yang bisa saya ambil dari setiap kejadian di desa ini," balas Panji, lagi.

"Syukurlah kalau begitu. Saya dan keluarga hanya bisa berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan Nak Panji. Amin," kata Pak Joko.

"Seruni, Paman bangga denganmu. Tarianmu sangat indah. Paman janji, suatu hari kamu akan menari di depan pejabat. Lanjutkan misimu untuk melestarikan budaya Indonesia!" pesan Panji pada Seruni.

"Ya, paman, saya akan selalu berusaha yang terbaik untuk Indonesia," ujar Seruni.

Sebelum Panji pergi, ia masih menanti kedatangan Raka yang menghilang entah kemana. Langkahnya terhenti ketika dari kejauhan terdengar teriakan Raka memanggil Panji.

Bersama Adi, Raka berlari ke hadapan Panji. " Paman, ada yang ingin dia sampaikan," kata Raka. "Baik, katakanlah, Nak!" kata Panji.

"Semoga Paman dapat memerintah Negara ini dengan baik. Kami berharap, Paman bisa membuat Negara ini menjadi lebih baik," kata Adi.

"Apa yang menjadi tujuan Paman merupakan ketentuan nasib bagi bangsa kita. Paman yakin, suatu hari nanti kamu akan duduk di kursi pemerintahan dengan kerja keras dan ketulusan hati. Kau anak yang hebat," kata Panji

Seketika, mata Panji berlinang air mata. "Paman, selamat jalan. Semoga apa yang paman cita-citakan tercapai," ucap Raka.

"Raka, Paman kagum dengan sosokmu. Kau mengajarkanku banyak hal, terima kasih atas segalanya. Dan, kalian semua, anak-anak di desa ini, merupakan cermin manusia yang baik, tulus, jujur, dan rendah hati. Semuanya menjadi pelajaran untuk Paman," ujar Panji.

Dua tahun kemudian, Panji telah duduk di kursi pemerintahan selama hampir dua tahun lamanya. Tak ia pungkiri, terkadang cobaan datang untuk membuat kecurangan dalam pemerintahan.

Namun, Panji selalu sadar, bahwa yang ia lakukan akan menentukan nasib rakyat. Jika ia melihat papan nama di mejanya, ia akan selalu mengingat Raka, Seruni, Adi, serta seluruh warga Desa Sukoharjo. Dan selama itu pula, ia membangun Desa Sukoharjo.

Kini, keadaan desa tersebut sudah jauh berbeda berkat hasil kerja Panji. Bahkan, bukan hanya Desa Sukoharjo, melainkan juga desa-desa lainnya di Indonesia.

Panji pun telah menepati janjinya pada Seruni. Panji mengundang kelompok tari anak tersebut untuk pentas pada berbagai acara kenegaraan.

Kiranya, semua memang akan kembali pada kesadaran diri masing-masing. Seorang pejabat pemerintah, selayaknya melakukan segala sesuatu untuk nasib kesejahteraan bangsanya. Karena segalanya adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com