Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akses Pendidikan Dasar-Menengah Masih Bermasalah

Kompas.com - 09/12/2009, 19:34 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Akses pendidikan dasar dan menengah masih menjadi kendala bagi sebagian anak-anak usia sekolah. Meskipun jumlah anak-anak yang mengalami hambatan mengenyam pendidikan di bangku sekolah karena putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya terbilang kecil, kondisi tersebut tetap perlu diperhatikan, terutama bagi anak usia wajib belajar.

Berdasarkan data-data dari Departemen Pendidikan Nasional dalam kurun waktu 2003-2008, terlihat angka putus sekolah di jenjang pendidikan dasar bisa berkisar 1-2 persen setiap tahunnya dari total anak usia 7-15 tahun yang seharusnya masuk dalam usia wajib belajar yang ditanggung negara. Sementara itu, lulusan SD/MI yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs jumlahnya bisa mencapai 10 persen.

Adapun lulusan SMP sederajat yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah lebih dari 10 persen. Sementara itu, lulusan SMA sederajat yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi hampir 36 persen. Jumlah siswa SD mencapai 28,4 juta, serta siswa SMP dan SMA sederajat masing-masing sekitar 12,8 juta siswa.

"Pendidikan dasar hingga SMP itu harus bisa dicapai setiap warga karena hal itu sudah diamanatkan dalam konstitusi dasar negara ini. Pendidikan dasar itu jadi bekal minimal bagi setiap anak untuk jadi warga negara yang mampu mandiri. Meskipun akses pendidikan diakui pemerintah bagi anak usia wajib belajar sudah semakin baik, jangan sampai ada anak-anak usia 7-15 tahun yang terhambat mendapatkan haknya untuk menikmati pendidikan," kata S Hamid Hasan, Pengamat Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (9/12/09).

Selain kendala ekonomi yang umumnya menjadi persoalan utama anak-anak usia sekolah menuntaskan pendidikannya, masalah sosial-budaya, dan geografis juga jadi kendala. Apalagi, sekolah-sekolah formal umumnya tidak fleksibel dalam aturan dan pembelajarannya sehingga tidak cocok bagi sebagian kelompok masyarakat. 

Sudiyanto, Kepala SDN Kartamulia 1 Sukamara, Kalimantan Tengah, mengatakan banyak anak usia sekolah dari penduduk asli di sekitar sekolah yang tidak mengenyam pendidikan. Angka putus sekolah di tingkat pertama saja bisa mencapai 50 persen.

"Kami memang menghadapi kendala dengan kondisi masyarakat yang belum sadar pentingnya pendidikan. Upaya jemput bola untuk bisa mengajak anak-anak usia sekolah mau belajar sudah dilakukan para guru. Karena dukungan orangtua terhadap pendidikan belum baik, motivasi belajar anak-anak juga rendah. Di masa-masa tertentu, orangtua malah mengajak anak mereka untuk membantu bekerja," ujar Sudiyanto.

Kendala sarana dan prasarana pendidikan di sejumlah daerah, seperti di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, membuat banyak anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam usia belajar sulit mengenyam pendidikan formal. Sekolah Luar Biasa yang hanya satu, lokasinya di ibu kota kabupaten sehingga sulit diakses banyak ABK dari kecamatan-kecamatan lain yang jaraknya berjauhan.

Guna mengatasi kendala pendidikan ABK, para guru yang mendapat pelatihan soal pendidikan inklusi dari Helen Keller International mulai membuka diri untuk menerima anak-anak ABK. Kebijakan itu membuat banyak ABK yang tadinya tidak bisa diterima di sekolah umum bisa belajar bersama-sama anak lainnya, meskipun dengan pemahaman guru dan sarana sekolah yang masih terbatas buat ABK.

Ferdiansyah, anggota Komisi X DPR RI, mengatakan meskipun pemerintah sudah mengkalim pencapaian wajib belajar di Indonesia sudah tuntas sejak tahun lalu, kenyataannya masih ada anak-anak usia wajib belajar yang tidak berada di bangku sekolah pada waktu jam sekolah. "Akses pendidikan itu harus terus diupayakan menjangkau semua anak tanpa terkecuali. Jika pemerintah memiliki komitmen yang tinggi pada pendidikan, hambatan-hambatan anak dalam sekolah mesti bisa diatasi. Pendidikan nonformal yang lebih fleksibel bagi anak-anak tertentu juga perlu dikembangkan dan kualitasnya ditingkatkan sehingga tidak kalah dengan sekolah formal," jelas Ferdiansyah.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menegaskan kebijakan pemerintah dalam pendidikan tetap pada prinsip tidak diskriminatif. Persoalan akses dan kualitas pendidikan masih menjadi perhatian utama pemerintah. Akses pendidikan bukan hanya dibuka lewat jalur formal, tetapi juga dengan penguatan pendidikan nonformal.

Menurut Nuh, pembiayan pendidikan lewat bantuan operasional sekolah (BOS) untuk siswa SD-SMP dan bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) bagi siswa SMA dan SMK diteruskan. "Depdiknas dan Bappenas saat ini sedang membahas mengenai cost structure dalam pembiayaan pendidikan. Kita berharap pembiayaan pendidikan terus meningkat sehingga tidak jadi kendala dalam meluaskan akses dan juga menyediakan layanan pendidikan bermutu di semua sekolah," ujar Nuh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com