Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hentikan Hambatan di Pendidikan Dasar

Kompas.com - 29/12/2009, 19:57 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  Pemenuhan hak anak-anak usia wajib belajar untuk menikmati pendidikan dasar sembilan tahun tanpa hambatan masih belum bisa dijamin pemerintah. Pasalnya, akses anak-anak usia wajib belajar untuk menikmati bangku sekolah dihadang aturan-aturan administratif maupun seleksi atau tes kemampuan akademik. 

Demikian salah satu persoalan yang mengemuka dalam focus group discussion bertajuk Sistem Pendidikan Berbasis HAM yang dilaksanakan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) bekerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta, Selasa (29/12). Hadir dalam acara tersebut berbagai elemen masyarakat yang mewakili sekolah, guru, orang tua, hingga organisasi masyarakat di bidang pendidikan. 

Padahal, ketersediaan dan akses pendidikan dasar yang memadai dan non-diskriminatif bagi semua komunitas masyarakat merupakan perwujudan pelaksanaan pendidikan berbasis hak asasi yang mesti dipenuhi pemerintah. Tetapi pada kenyataannya, menikmati pendidikan dasar masih sulit bagi kaum marginal, terutama warga miskin. 

Berdasarkan data yang dilansir Komisi Nasional Perlindungan Anak, sekitar 2,5 juta anak dari total 26,3 juta anak berusia 7-15 tahun belum dapat menikmati pendidikan dasar. Berbagai faktor penyebab, antara lain sulitnya akses ke sekolah, kurangnya kesadaran orang tua, dan faktor ekonomi. 

Merlin dari Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal (Lapam) menjelaskan syarat mutlak memiliki akte kelahiran menjadi pengganjal banyak anak miskin untuk bisa bersekolah di SD. Sekolah seringkali kaku dalam implementasi persyaratan saat pendaftaran siswa baru. "Padahal, anak-anak miskin itu tidak punya akte lahir karena tidak mampu membuatnya akibat ketiadaan biaya. Akibatnya, mereka kesulitan mendapat tempat untuk bersekolah," ujar Merlin. 

Elin Driana, Koordinator Education Forum, menyoroti aturan tes atau seleksi masuk yang marak dilaksanakan sekolah-sekolah, terutama untuk jenjang pendidikan dasar. Seleksi itu utamanya menekankan harus sudah ada kemampuan membaca, menulis, dan menghitung anak yang hendak bersekolah. 

Sekolah hanya bersedia menerima anak-anak yang sudah siap belajar atau the best input. Sekolah tidak mau mengakomodasi keragaman anak yang berbeda-beda. "Kebijakan diskriminatif yang dilanggengkan sampai saat ini membuat anak-anak miskin atau anak-anak yang biasa saja tersingkir," kata Elin.

Menurut Elin, sekolah-sekolah umumnya hanya mau menerima kondisi siswa yang seragam dari segi kemampuan akademik maupun ekonomi dan sosial. Apalagi dengan standarisasi sekolah yang tajam yang dikaitkan dengan kualitas, akses pendidikan bermutu makin sempit bagi anak-anak tidak mampu dan bodoh.

Darmaningtyas, pengamat pendidikan, menyoroti ketidakjelasan fungsi ujian nasional (UN). Untuk SD-SMP yang merupakan satu paket pendidikan dasar yang harus terpenuhi, semestinya tidak perlu pakai saringan. Penerapan sistem rayon, yaitu lulusan SD wajib diterima di SMP sekitar tempat tinggal bisa diterpakan kembali. 

"Kebijakan sistem rayon ini menghapuskan sebutan SMP favorit dan tidak favorit, sehingga dapat menciptakan keadilan antara guru karena semua akan mengalami mengajar anak yang beragam latar belakangnya," kata Darmaningtyas.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com