Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarawan: Jangan Buru-buru dan Emosional Angkat Pahlawan Nasional

Kompas.com - 04/01/2010, 20:38 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekaligus sejarawan Asvi Warman Adam, Senin (4/1/2010), meminta semua pihak termasuk pemerintah tidak terburu-buru dan sekadar bersikap emosional dalam menetapkan seseorang untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Hal itu lantaran sampai sekarang, tambah Asvi, pemerintah tidak kunjung jelas menetapkan apa dasar dan esensi tujuan menetapkan seseorang untuk menerima gelar kehormatan tersebut. Padahal, seharusnya penetapan seperti itu bertujuan memberi keteladanan.

Menurut Asvi, dalam 50 tahun belakangan ini, sejak pertama kali gelar Pahlawan Nasional diberikan oleh pemerintah pada tahun 1959, sudah ada 147 orang yang dianugerahi gelar tersebut. Dia meyakini, banyak nama masih belum dikenal secara luas di masyarakat.

"Sekarang coba dicari tahu, misalnya, berapa banyak masyarakat kita paham nama seorang Pahlawan Nasional Pong Tiku asal Toraja, yang telah berjasa melawan penjajah kolonial Belanda? Banyak mungkin yang belum tahu. Padahal, Pahlawan Nasional itu kan seharusnya menjadi sebuah album daftar tokoh, yang bisa menjadi inspirasi dan teladan," ujar Asvi.

Hal itu disampaikan Asvi menanggapi pengajuan sejumlah kalangan, termasuk dari partai politik (parpol), agar pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional bagi mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid yang wafat pekan lalu untuk menghormati dan menghargai perjuangannya semasa hidup.

Asvi mengingatkan, kepastian tentang seberapa banyak dan untuk apa gelar Pahlawan Nasional, yang diberikan dan dibutuhkan, harus diperjelas terlebih dahulu. Jika tidak, hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan dan berdampak, penetapan anugerah seperti itu tidak lagi bermakna.

Lebih lanjut, Asvi mencontohkan, pada tahun 1964 di masa ketika pemerintah menganut paham nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom), gelar Pahlawan Nasional yang diberikan saat itu bahkan disesuaikan dengan paham tersebut. Malahan, masa pemerintahan mantan Presiden Sukarno itu menjadi masa di mana anugerah Pahlawan Nasional paling banyak diberikan.

"Saat itu kakek dan bapak KH Abdurrahman Wahid, KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim, dianugerahi gelar Pahlawan Nasional yang mewakili kalangan agama. Selain dari NU dua orang, juga dari Muhammadiyah dua orang. Sementara dari kalangan komunis ada Alimin, dari kalangan militer itu Oerip Sumohardjo, dan dari kalangan perempuan itu Kartini, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutiah," ujar Asvi.

Lebih lanjut, Asvi juga mewanti-wanti jangan sampai usulan pengajuan nama KH Abdurrahman Wahid sebagai Pahlawan Nasional hanya dilatari motivasi pribadi atau kepentingan politik kelompok tertentu. Jika berhasil, tambah Asvi, bukan tidak mungkin orang atau kelompok itu nanti akan mengklaim diri telah berjasa memperjuangkan Abdurrahman menjadi Pahlawan Nasional.

"Dalam konteks seperti itulah strategi pemerintah dalam menetapkan Pahlawan Nasional menjadi sangat dibutuhkan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan masih belum jelas benar walau memang sudah ada perbaikan. Tentukan dahulu apa nilai-nilai yang mau dijadikan teladan sebelum memberikan gelar seperti itu," tambah Asvi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com