Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPD: Evaluasi Guru Honor dan UN!

Kompas.com - 13/01/2010, 21:28 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan guru honorer, karena mereka juga adalah pendidik dan pengajar. Mereka perlu mendapatkan status yang jelas, didasarkan atas kinerja mereka. Ke depan, perekrutan guru honorer baru harus disesuaikan dengan kebutuhan sekolah yang sebenar-benarnya.

Tentang ujian nasional yang mendapat sorotan tajam saat ini, pemerintah harus mengevaluasinya. Karena terdapat ketidakadilan, bahkan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) juga menilai sebagai pelecehan terhadap para guru.

Ketua DPD RI Irman Gusman menegaskan hal itu, Rabu (13/1/2010) di Jakarta, ketika menerima kunjungan PB PGRI, yang meminta pertimbangan dari DPD RI tentang persoalan pendidikan. "DPD RI prihatin, karena tenaga pendidik di Indonesia masih banyak yang bersatus belum jelas, seperti guru honorer," katanya.

Dalam dua tahun terakhir, lanjut Irman gusman, terjadi peningkatan jumlah guru honorer dari 2,34 juta tahun 2007, menjadi 2,67 juta pada tahun 2008. Guru honorer tidak digaji oleh negara, mereka digaji oleh sekolah. Pendapatan mereka tergantung dari kebijaksanaan kepala sekolah dalam memberikan bayaran.

Ketua Umum PB PGRI Sulistiyo mengatakan, banyak daerah yang tak mampu menyejahterakan guru. Jumlah guru sangat kurang dari kebutuhan. Di banyak sekolah dasar, untuk menghadapi enam kelas, guru hanya ada tiga orang. Itu pun guru honorer, yang hanya menerima Rp200 ribu per bulan.

"Guru-guru honorer itu pegang kelas, di daerah terpencil lagi. Perhatian pemerintah kurang, sementara jutaan guru honorer sampai saat ini masih punya harapan, bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil," tandasnya.

Menurut Sulistiyo, kalau pemerintah menyadarai betapa pentingnya peran guru, karena 60 persen mutu pendidikan ditentukan oleh guru, seharusnya guru-guru honorer diangkat jadi PNS, karena ia sudah mengabdi bertahun-tahun.

Evaluasi UN

Soal ujian nasional, PB PGRI minta agar pemerintah melaksanakan keputusan Mahkamah Agung (MA). Sulistiyo menjelaskan, UN yang melibatkan pihak kepolisian dan dosen sebagai pengawas, dinilai sebagai pelecehan guru. Merendahkan martabat guru.

"Kehadiran polisi dan dosen mengganggu otonomi sekolah. Kondisi seperti ini, membuat guru di sekolah-sekolah menjadi acuh tak acuh. Ini preseden buruk dalam dunia pendidikan. Seharusnya guru diberi tanggung jawab yang benar, diawasi. Bukan dengan dengan mendatangkan orang luar," ungkap Sulistiyo.

Ketua DPD RI Irman Gusman mengatakan, dengan diterapkannya standar ujian nasional secara serentak di semua daerah, sedangkan kondisi pengajaran di kota dengan daerah-daerah terpencil lainnya berbeda, maka terdapat ketidakadilan.

DPD akan mendorong pemerintah untuk mengevaluasi ujian nasional. Hal ini mengingat penentu kelulusan sebaiknya tidak hanya berdasarkan pada hasil UN, akan tetapi ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berasal dari sekolah. "Sehingga proporsi penilaian kelulusan bagi seorang anak didik dibagi menjadi dua, dari Diknas melalui UN dan dari pihak sekolah dengan melihat kinerja anak didiknya selama bersekolah. Ini baru ada keadilan dalam penilaian," paparnya.                                

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com