Tenis kadang kala bisa disebut olahraga yang penuh misteri. Sering kali kemenangan dan kekalahan hanya ditentukan oleh sebuah momen berdurasi sepersekian detik. Banyak kejadian, terutama di ajang agung seperti grand slam
Siapa mampu menjelaskan mengapa Dinara Safina tak pernah sukses di tiga final grand slam sepanjang 2008 dan 2009? Padahal, petenis Rusia itu relatif tak punya kesulitan berarti saat melaju ke partai puncak. Di Roland Garros 2009, Safina melaju ke perempat final tanpa kehilangan satu set pun, bahkan hanya memberi lawan-lawannya lima game! Namun di final, melawan Svetlana Kuznetsova, Sa-
Sebelumnya di Australia Terbuka 2009, Safina lolos dari dua
Banyak analis mengatakan, Safina terkena sindrom partai puncak. Barangkali benar, tetapi juga tidak terlalu pas. Sebelum Perancis Terbuka 2009, dia memenangi dua turnamen besar di Roma dan Madrid hanya dalam jeda waktu sepekan.
Tetapi memang grand slam adalah liga atau level yang lain. Grand slam barangkali terlalu agung bagi Safina sehingga urusan keluar dari tekanan mental adalah poin paling penting yang harus dicari jalan keluarnya. Sebab, secara teknis, Safina tidaklah di bawah Serena atau Venus, yang merajai semua arena grand slam dalam satu dekade terakhir.
Barangkali hal itu pula yang bisa sedikit menjelaskan mengapa Kim Clijsters tak sebaik Justine Henin dalam prestasi mereka di grand slam. Clijsters terbilang buruk di arena ini dan hanya memenangi dua gelar, keduanya di Flushing Meadow. Sementara Henin, yang head to head-nya sekarang kalah dari Clijsters, 10-11, justru lebih benderang di ajang ini. Henin adalah pemegang tujuh gelar grand slam, dan hanya tinggal Wimbledon yang belum dijuarainya.
Kemarin, misteri buruknya Clijsters di grand slam kembali terulang. Tampil sebagai favorit setelah merebut AS Terbuka 2009, Clijsters tak berkutik menghadapi Nadia Petrova.
Clijsters mengaku tak ada yang salah dalam persiapannya. Dia menjuarai turnamen Brisbane dengan mengalahkan Henin di final. Dia juga ibarat hanya berlatih saat menggusur Valerie Tetreault dan Tamarine Tanasugarn di dua babak awal.
Menghadapi Petrova, Clijsters menemukan harinya yang paling gelap. Dia tak pernah bisa bangkit dari satu kesalahan ke kekeliruan berikutnya. Dalam dunia olahraga, hal ini sering kali bahkan menimpa atlet-atlet top.
Henin barangkali memang punya ketangguhan grand slam yang melebihi Clijsters. Henin pun mengalami beberapa kekalahan pahit di grand slam, tetapi tidak pernah seburuk Clijsters.
”Ketangguhan grand slam” pula yang mungkin tak dipunyai Jelena Jankovic. Petenis Serbia ini pernah menyandang peringkat satu, tetapi rekornya di grand slam tak seindah lekuk tubuhnya. Tiga kali menembus semifinal dan sekali final, ia tak pernah mampu menuntaskan tugasnya dengan baik. Jankovic selalu punya kambing hitam atas semua kegagalannya. Safina dan Clijsters punya sisi gelap, tetapi Jankovic jauh lebih gelap.