Surabaya, Kompas -
”Sebagian besar dana yang digunakan tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan,” kata Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya Dedy Virantama,
Bentuk penyimpangan yang ditemukan, antara lain, adalah pengadaan barang berupa alat tulis kantor serta renovasi fisik bangunan sekolah. ”Kasus ini mengemuka setelah SMK Ketintang 1 yang mendapat bantuan dana tetap memungut biaya dari siswa,” ungkap Dedy.
Ia menambahkan, berdasarkan hasil penyelidikan sementara, Kejari Surabaya menetapkan seorang pejabat sekolah sebagai tersangka.
Sepuluh CV yang disebut sebagai badan usaha yang melakukan pengadaan di SMK Ketintang 1, lanjut Dedy, ternyata hanya dipinjam namanya untuk keperluan pembayaran pajak. ”Angka penyimpangan dananya diperkirakan lebih dari Rp 1 miliar,” papar Dedy.
Penyelidikan kasus ini berawal dari pertemuan para kepala
Kejari Surabaya kemudian memanggil sejumlah kepala sekolah. Beberapa sekolah menyatakan akan mengembalikan dana Bopda. ”Mereka akan mengembalikan karena tidak bisa menggunakan dana hibah yang telah diterima,” ujar Dedy.
Meski kasus penyimpangan dana Bopda bergulir, bukan berarti kucuran dana bagi siswa tak mampu dihentikan. Sekolah dan siswa tetap berhak memperoleh dana bantuan demi kelangsungan dunia pendidikan. ”Dana masih diberikan bagi siswa tidak mampu. Jangan sampai disalahgunakan sekolah, dengan tetap memungut biaya kepada siswa tidak mampu itu,” kata Dedy.
Penyelidikan terhadap dugaan penyimpangan dana Bopda diperkirakan tidak berhenti di SMK Ketintang 1 sebab Kejari Surabaya masih mengusut dana Bopda di sekolah lainnya.