Oleh Antony Lee
SEMARANG, KOMPAS.com — Sebelum memasang jargon sekolah gratis, seharusnya pemerintah menengok sejenak ke tepian Kali Semarang di Gang Lombok, Pecinan Semarang, Jawa Tengah. Di sudut perpotongan kemiskinan dan pusat perputaran uang itu terletak sekolah gratis dalam arti sesungguhnya.
Sekolah dasar dan taman kanak-kanak bernama Kuncup Melati itu sudah 60 tahun melayani pendidikan gratis. Begitu riuh suara entakan kaki dan tawa anak-anak di ruang pertemuan Kong Tik Soe di Gang Lombok, Jumat (29/1/2010) siang.
Suara dari lantai dua itu terdengar kencang hingga ke lantai dasar. Puluhan siswa SD Kuncup Melati tengah berlatih tarian Nusantara yang akan dipertunjukkan pada pembukaan perayaan 60 tahun Khong Kauw Hwee, yayasan yang menaungi sekolah gratis TK dan SD Kuncup Melati. Sekolah itu hanya berjarak sepelemparan batu dari lokasi mereka berlatih, terdiri atas gedung sederhana berlantai tiga yang digunakan untuk dua kelas TK dan enam kelas SD.
Tahun ajaran ini ada 247 siswa SD dan TK yang menuntut ilmu di Kuncup Melati. Tidak ada satu siswa pun di sekolah ini mengeluarkan uang untuk membayar pungutan pendidikan. Tak hanya itu, mereka juga mendapat seragam sekolah, alat tulis, tas, sepatu, kaus kaki, topi sekolah, ikat pinggang, buku pelajaran, hingga pendidikan ekstrakurikuler. Bandingkan dengan sekolah yang mengaku memberi pendidikan gratis, tetapi masih memungut biaya dengan berbagai alasan.
Para siswa sekolah ini mendapat mata pelajaran sesuai kurikulum nasional. Bahkan, mereka mendapat tambahan pendidikan bahasa Mandarin. Walau tak bisa dikatakan sangat bagus, sekolah ini juga bukan sekolah papan bawah di Kota Semarang meskipun semua siswa berasal dari keluarga tidak mampu dengan latar belakang etnis yang beragam. Siswa yang diterima harus mengantongi surat pernyataan tidak mampu dari kantor kelurahan.
"Dua anak saya bersekolah di sini. Benar-benar meringankan keuangan. Kalau di sekolah lain bisa mengeluarkan uang sampai Rp 50.000 per bulan," tutur Evi (39), orangtua murid SD Kuncup Melati.
Baginya, uang itu sangat berarti. Suaminya bekerja sebagai sopir truk antardaerah dengan pendapatan sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Sementara dia tak bekerja dan harus menghidupi tiga anaknya yang masih kecil. Untuk menghemat pengeluaran transportasi, saat menuju sekolah, kedua anaknya berboncengan mengayuh sepeda sejauh 2 kilometer dari rumah mereka di Citarum, Kecamatan Semarang Timur.
Bantuan
Bantuan semacam ini sudah dirasakan oleh ribuan anak sejak sekolah ini dibangun. Ada yang berhasil menjadi pengusaha atau bahkan bintang sinetron dan model. Upaya untuk mengumpulkan pasir yang terserak itu, pada 6-7 Februari 2010 akan diselenggarakan temu alumni dan perayaan 60 tahun Khong Kauw Hwee, sekaligus sebagai bagian dari membangun jejaring agar keuangan sekolah ini bisa terus menopang hadirnya pendidikan gratis sungguhan.