"Setidaknya dalam satu bulan kami harus menyediakan dana sekitar Rp 20 juta untuk operasional sekolah dan perlengkapan siswa," tutur Eko Wardojo, Sekretaris Yayasan Khong Kauw Hwee.
Menurut dia, dana itu seluruhnya didapatkan dari para donatur. Bantuan donatur multietnis dan latar belakang itu tak melulu uang, tetapi juga barang, bahkan sumbangan tenaga sebagai pengajar. Hal ini cukup membantu penghematan.
Baru mulai tahun 2009, SD Kuncup Melati menerima bantuan operasional sekolah dari pemerintah senilai Rp 79 juta. Para guru tetap yang jumlahnya mencapai 12 orang itu menyadari betul sekolah ini bukan mencari keuntungan sehingga pengelola sekolah tak bisa membayar mereka dengan gaji tinggi.
"Ya, bagi saya cukuplah. Yang pasti sudah di atas upah minimum kota. Bagi saya ada kebanggaan mengajar di sini karena betul-betul membantu siswa," tutur Purwaningsih (31), guru Bahasa Jawa, IPS, dan Menggambar di SD Kuncup Melati.
Ia mengajar di sekolah itu sejak lima tahun lalu. Pengabdian menjadi salah satu kunci sekolah ini bisa bertahan selama 60 tahun. Cikal bakal sekolah ini muncul dari kegalauan Lie Ping Lien yang menyaksikan anak tunaaksara hanya berkeliaran dan bermain.
Pada 1 Januari 1950, ia bersama sejumlah koleganya mendirikan Sau Tjuk Wen Mang Siek Siao (Kursus Pemberantasan Buta Huruf) di Gedung Yayasan Kong Tik Soe. Materi pelajaran masih terbatas bahasa Indonesia dan Mandarin, serta budi pekerti. Pada tahun 1952, kursus ditingkatkan menjadi Sekolah Taman Pendidikan Anak-anak Khong Kauw Hwee yang merujuk pada kurikulum sekolah rakyat.
Dua tahun kemudian, materi ditingkatkan dengan penambahan keterampilan pertukangan, kerajinan rotan, atau membuat mainan untuk siswa laki-laki. Sementara siswa perempuan mendapat pelatihan menyulam, menjahit, memasak, dan membuat roti.
Status tempat pendidikan ini ditingkatkan menjadi sekolah dasar pada 1980. Selama tahun 1987-1992 dibangun gedung sekolah Khong Kauw Hwee atas kerja sama empat yayasan, yakni Khong Kauw Hwee, Kong Tik Soe, Tjie Lam Tjay, dan Kelenteng Tay Kak Sie. Semua yayasan itu berada satu kawasan di Gang Lombok.
Eko Wardojo menuturkan, perkembangan sekolah gratis ini dibagi dalam empat fase, yakni pembentukan pada masa awal, mempertahankan saat sempat terjadi kegoyahan akibat sempat sepi donatur pascaperistiwa 1965, tahap melanjutkan dengan kondisi mulai stabil, dan kini tiba saatnya untuk mengembangkan sekolah.
"Dengan sudah menerima dana bantuan operasional sekolah dan donatur juga terus ada, kami ingin sekolah ini mutunya meningkat, bukan hanya sekadar gratis, serta menambah fasilitas bagi anak. Kami ingin mengembalikan materi keterampilan seperti dahulu agar anak mendapat bekal memadai," harapnya.
Dan tentunya sekolah kuncup itu akhirnya akan mekar. Menebarkan indahnya nilai solidaritas, pengabdian, dan kisah kemajemukan....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.