Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Plagiator dan Predator

Kompas.com - 22/02/2010, 16:03 WIB

Oleh MOHAMAD FATHOLLAH

Di negara maju seperti Amerika Serikat, ketika seseorang (apalagi dalam struktur akademis) memplagiasi, menyontek, menjiplak, menyalin tanpa menyebutkan sumbernya, atau bahkan menyalin secara keseluruhan dapat berakibat fatal, yaitu pencopotan gelar dan pekerjaannya. Hukum perdata dan pidana juga menantinya.

Namun, di Indonesia sebaliknya. Plagiator tidak berat hukumannya, baik secara sosial dan hukum. Pelaksanaan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta tidak dengan serta-merta membuat plagiator tertekan dan takut. Bahkan, secara sosial, seorang plagiator tetap dihormati dan dipertimbangkan pemecatannya dalam struktur akademik. Hal ini terlihat pada sanksi seorang profesor yang ketahuan plagiat dalam tulisannya di The Jakarta Post di Bandung, beberapa waktu lalu. Seharusnya, hukuman bagi seorang plagiator -apalagi dalam struktur tertinggi akademik- memberi efek jera.

Plagiasi merupakan salah satu dosa terbesar. Tindakannya tidak dapat termaafkan secara akademis.

Sebab pertaruhan seorang akademisi merupakan pertaruhan autentifikasi karya dan sikap disiplin ilmu. Selain kasus di atas, diberitakan pada Kamis (18/2), dua calon guru besar asal perguruan tinggi swasta di Yogyakarta diduga melakukan plagiasi dalam karya ilmiah. Hasil penelitian untuk meraih gelar profesor merupakan copy paste karya mahasiswa strata satu. Kabar sangat memilukan bagi dunia pendidikan itu tidak hanya melecehkan ilmu pengetahuan, tetapi juga melecehkan insan akademik dan institusi pendidikan. Bahkan, Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan budaya ikut tercemar "nama baiknya" akibat sikap beberapa akademisi "karbitan" tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso, 2005), plagiat adalah mengambil atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya orang lain dan disiarkan sebagai karangan atau pendapat dan sebagainya sendiri. Secara epistemologis, plagiarisme merupakan penjiplakan yang membudaya dan mendarah daging pada diri seseorang. Ketika sesuatu sudah membudaya, menghilangkannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, kecuali dengan terapi kejut. Dampaknya sangat fatal, baik bagi pelaku maupun orang lain.

Kasus plagiarisme, secara akademik, tidak ada kompensasinya. Tindakan tersebut dapat dikategorikan dalam kejahatan intelektual. Tindakan amoral tidak hanya berupa pelecehan seksual, berbau porno, anarkis, menganiaya, dan misuh-misuh. Plagiarisme merupakan tindakan paling amoral dalam bidang keilmuan. Terlepas hak asasi seseorang, tindakan itu harus mendapat hukuman setimpal. Tidakkah ilmu pengetahuan juga memiliki haknya dalam purifikasi dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan? Apa jadinya ketika seseorang yang terhormat dan dihormati di dalam struktur akademik melacurkan dirinya dengan tindakan amoral. Dapat dipastikan, pameo selama ini, "guru kencing berdiri, murid kencing berlari", menemukan titik kulminasi pada pembangunan generasi bangsa yang memble, bermental pengecut, tidak loyal, dan tidak bertanggung jawab, hingga penistaan atas nama bangsa dan negara.

Tindakan amoral seorang akademisi lebih berdosa daripada seorang pencopet atau lebih rendah dari seorang pengemis. Saya mengatakan demikian bukan berarti saya menafikan eksistensi atau tidak menghormati seseorang. Justru sebaliknya, ketika seseorang sudah tak menghormati gelar paling terhormat dalam struktur akademik, serta melecehkan nilai ilmu pengetahuan, apakah masih dihargai dan patut dihormati secara akademis?

Di Amerika, mahasiswa yang terbukti sah memplagiasi satu paragraf atau bahkan keseluruhan berakibat pemecatan dan dikenai sanksi sosial akut. Apalagi plagiasi seorang guru besar (profesor). Guru besar tak hanya panutan dalam akademiknya, karya produktifnya merupakan anak kandung pola pikir dan sikap yang terorganisasi dan penuh tanggung jawab.

Hadratussyaikh KH Hasyim Asya'ari, dalam Irsyadu al-Syarie bab al- 'alim wa al-muta'alim, menyebutkan bahwa ukuran seorang mulia dalam derajat keilmuan, salah satunya, adalah mereka yang mempunyai moral tinggi. Sikap dan perbuatannya mengandung tanggung jawab risalah ketuhanan.

Jadi, dapat dipastikan seseorang yang melacurkan diri dalam tindakan amoral, secara de jure, melawan sifat dasar ketuhanan, yakni Al- Fatah ( Yang Maha Pembuka) dan Al-Alimu (Yang Maha Ilmu). Secara esensial, seorang berilmu, apalagi memiliki gelar atas ilmu yang disandangnya, merupakan "utusan" Tuhan di muka bumi dalam menyampaikan risalah ilmu.

Predator

Seorang plagiator tak ada bedanya dengan predator. Sikap dan indikasinya sama persis, yakni membunuh demi eksistensinya sendiri. Tanpa peduli etika, moral, dan tanggung jawab, predator membunuh lawannya dan bertindak semena-mena demi kepentingan diri sendiri, bahkan nyawa dipertaruhkan.

Predator adalah pembunuh berdarah dingin. Begitu pula plagiator. Tanpa memandang etika akademik, mereka beraksi demi gelar "terhormat". Hal itu jelas bentuk pembunuhan karakter ilmu pengetahuan. Plagiator sadar berbuat instan menjiplak, copy paste, dan menyalin karya orang lain dalam karya yang diakuinya sebagai hasil pemikiran sendiri.

Menghalangi seorang plagiator memplagiasi sama saja menghalangi predator untuk membunuh. Untuk menghentikan plagiasi hanya dua, yakni secara eksternal "membunuh" karakternya sebagai akademisi serta menyematkan "gelar tertinggi" berupa guru besar plagiarisme dan secara internal membumikan kesadaran intelektual dalam segala sikap dan pola pikir diri sendiri. Tanpa kesadaran intelektualitas masif, plagiarisme akan semakin menjadi virus sosial.

MOHAMAD FATHOLLAH Ketua Integrated Pop-Culture Studies Sosiologi Fishum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com