Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kalau Berhuruf Braille Lebih Mudah

Kompas.com - 23/03/2010, 13:07 WIB

Oleh Nina Susilo

"Kamu lahir tahun sembilan belas...?" "Sembilan dua" "Sekarang tanda tangan di sini." "Kertasnya menghadap mana, Bu? "Ini kertasnya sudah menghadap kamu."

Patricia mengarahkan pensil yang dipegang Rizki Nurilawati (18) ke kotak tempat tanda tangan di lembar jawaban ujian nasional (UN). Sebelumnya, Patricia dan Dwi Astuti membantu mengisikan data diri Rizki di Lembar Jawaban UN.

Senin (22/3), seluruh siswa kelas XII SMA mulai menjalani UN. Tidak terkecuali Rizki, siswa kelas XII IPS-2 SMA Negeri 10 Surabaya, yang tunanetra. Karena tidak tersedia soal dalam huruf braille, seorang pengawas, Patricia, membantu membacakan soal-soal UN. Adapun guru pendamping Rizki dari SMA Negeri 10, Dwi Astuti, membantu menghitamkan jawaban yang dipilih siswa sekolah inklusi itu.

Sekadar mendengarkan soal pilihan ganda untuk pelajaran Bahasa Indonesia jelas sulit. Sebab, bacaan yang disediakan cukup panjang. Pilihan jawabannya pun kalimat yang mirip-mirip. Akhirnya, bolak-balik Rizki meminta pengawas membacakan ulang soal maupun pilihan jawabannya.

"Yang kalimat pertama apa, Bu?" kata Rizki.

"Negara di kawasan Asia Pasifik, terutama negara Indonesia merupakan negara dengan risiko bencana besar," ucap Patricia mengulangi.

Sebenarnya, kata Rizki setelah menyelesaikan soal Bahasa Indonesia, dia sungkan meminta pengawas mengulang terus-menerus. Namun, soal dan pilihan yang panjang dan mirip sungguh membingungkan. Apalagi, dalam uji coba (try out), dia tidak lulus untuk mata pelajaran ini meski menjawabnya sudah sangat berhati-hati.

"Yang lulus malah bahasa Inggris. Bahasa Indonesia malah enggak, Matematika juga," ujarnya tersipu-sipu.

Menurut anak keempat dari empat bersaudara ini, bila ada soal berhuruf braille ditambah pendamping, mengerjakan soal akan lebih mudah. Namun, waktu pengerjaan soal mungkin lebih lama. Sebab, huruf braille berukuran besar.

Menurut Kepala SMA Negeri 10 Surabaya Sukron, pihaknya sudah melaporkan kepada Dinas Pendidikan Surabaya mengenai dua siswanya yang berkebutuhan khusus dan peserta UN 2010.

Kepala Dinas Pendidikan Jatim Suwanto pernah menjelaskan, soal berhuruf braille memang tidak diadakan. Sebab, kebutuhannya sedikit. Biaya pengadaannya cukup mahal dan anggaran terbatas. Karenanya, bila diperlukan, siswa berkebutuhan khusus boleh didampingi guru.

Guru dan percaya diri

Meskipun dipisahkan dari teman-temannya selama UN, Rizki tetap bersemangat. Perempuan kelahiran 20 Januari 1992 itu berharap bisa kuliah di Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya. Sebab, Rizki ingin menjadi guru bagi tunanetra.

"Saya pengen ngajari anak tunanetra untuk berani sosialisasi. Sebab, banyak orangtua temanku yang tidak ingin mengeluarkan anak mereka karena malu," tutur Rizki yang memilih SMA Negeri 10 yang merupakan sekolah inklusi setelah lulus dari SMP YPAB, Gebang, Surabaya.

Kesulitan selama belajar di sekolah inklusi terbayar dengan tumbuhnya percaya diri Rizki. Dia tegar menempuh pendidikan. Apalagi, Rizki bersama teman-temannya sudah mempersiapkan diri dengan berbagai latihan soal serta uji coba, bahkan ditambah les. (RAD)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com