Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prof Harjanto Prabowo: Tidak Semua yang di Inggris Kenal Kita...

Kompas.com - 30/03/2010, 12:59 WIB

LONDON, KOMPAS.com — Sebagai salah satu dari 11 universitas di Indonesia yang terpilih menerima dana sebesar 10.000 poundsterling atau sekitar Rp 143 juta dari Pemerintah Kerajaan Inggris, Universitas Bina Nusantara akan memanfaatkan dana tersebut sebagai dana awal pengembangan kemitraan mereka dengan University of Sheffield di bidang Social Entrepreneurship Course.

Untuk penjajakan kerja sama tersebut, Rektor Binus Prof Harjanto Prabowo diundang berkunjung ke London, Inggris, bersama lima rektor perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia untuk mengikuti Konferensi Pendidikan Internasional "Going Global 4" yang digelar oleh British Council, 25-26 Maret 2010 lalu. Berikut petikan wawancara dengan Kompas.com.

Sebagai institusi swasta, tentu sebuah kehormatan bagi Binus diundang ke Inggris dan diberi kepercayaan menerima dana kerja sama itu. Bagaimana tanggapan Anda?

Sebagai institusi swasta, saya tentu ingin belajar. Tidak semua yang di Inggris kenal kita (Binus), bahkan secara umum pun perguruan tinggi di Inggris belum kenal kita, universitas-universitas di Indonesia, bukan hanya Binus.

Kenapa bisa begitu?

Umumnya perguruan tinggi di Indonesia hanya mengirimkan beberapa dosennya ke Eropa, tetapi lebih banyak ke AS atau Australia. Dampaknya, profesor-profesor kita di Inggris itu sedikit dan tak banyak yang dikenal. Padahal, kerja sama itu dibangun salah satunya melalui profesor.

Di sisi lain, terus terang saja, selama ini sistem perkuliahan kita lebih condong ke AS, tidak ke Eropa, termasuk Inggris. Hal ini berbeda dengan Malaysia atau Singapura karena memang secara politis posisi kita dalam konsep internasionalisasi bersama Inggris ini tidak bagus sebab kita memang bukan bagian dari commonwealth. Maka dari itu, kita butuh effort yang besar untuk itu.

Untuk itu, undangan ini adalah untuk menjual kita dan tentu sangat kita hargai karena selama ini kita belum punya hubungan banyak terkait pendidikan tinggi dengan Inggris. Sayangnya, belum ada sesi khusus kita berbicara di forum global ini, mudah-mudahan tahun depan kita punya kesempatan.

Kira-kira bagaimana perspektif Binus melihat kemungkinan agar kerja sama internasionalisasi dengan Inggris ini bisa terwujud?

Kita melihatnya dari tiga aktivitas yang memang jelas saja. Pertama, di bidang teaching, Binus berharap adanya rasa saling membutuhkan, yaitu pelajar internasional belajar ke Binus, dari Binus juga ada yang belajar keluar. Caranya, bisa melalui student exchange atau study abroad.

Kedua, kerja sama riset. Kita sadar, kemampuan kita belum sebagus mereka (Inggris dan negara-negara di Eropa dan negara lainnya). Kita sudah cukup lama kuat di sektor teaching. Untuk itu, kita mau undang profesor-profesor mereka untuk memperkuat riset metodologi pada obyek-obyek lokal kita. Dari situ profesor kita dapat untung, yaitu topik-topik riset yang sifatnya aplikatif sebab riset di Binus itu kan riset aplikasi.

Ketiga, aktivitas kolaborasi. Kita harus mendapatkan grant atau funding bersama, baik itu dari industri maupun pemerintah. Kita memulainya dari industri dulu, termasuk industri yang dari luar negeri.

Bagaimana dengan kesiapan Binus sendiri menghadapi konsep internasionalisasi yang sedang ditiupkan oleh Inggris ini?

Buat saya konsep internasionalisasi ini jelas bahwa 20 persen mahasiswa saya harus punya pengalaman internasional karena, untuk study abroad, bukan cuma masalah biaya, melainkan juga kemampuan atau kualitas mahasiswanya. Mereka yang punya indeks prestasi di atas 3,5 itu cuma 30 persen. Nah, dari yang 30 persen itu, bahasa Inggrisnya dilihat dulu. Dari jumlah 30 persen itu pun bisa berkurang lagi hanya karena persoalan bahasa. Ini yang telah kami persiapkan selama ini.

Selama ini, apakah pelaksanaan konsep internasionalisasi di Binus melalui visi dan misi World Class University (WCU) sudah bisa dijadikan pengalaman?

Kita selalu katakan bahwa pemahaman internasionalisasi kita itu adalah bagaimana membuat perguruan tinggi kita dikenal di dunia dan lulusannya bisa masuk dengan mudah ke arena persaingan global. Untuk itu, kita punya kelas internasional, dan programnya jelas, baik itu 2+2 atau 3+1 dengan beberapa perguruan tinggi luar negeri.

Artinya, mau tak mau, program ini sudah diciptakan sedemikian rupa untuk lepas landas ke konsep internasionalisasi. Dosen-dosennya, misalnya, harus mengajar dalam bahasa Inggris, kurikulum kami juga diawasi luar negeri, dan secara serius study abroad yang 20 persen di Binus sudah terlaksana sejak 2009. Untuk di kelas internasional saja kita sudah punya kurikulum internasional, yang semua materinya diberikan dalam bahasa Inggris dan menggunakan dua kurikulum.

Menurut Anda, kenapa program reguler (sarjana S-1) itu penting dilakukan dengan konsep internasionalisasi ini?

Begini, hemat saya, dengan 20 persen itu saja, anak-anak bisa masuk ke dunia global. Konsep WCU itu ukuran obyektifnya adalah bagaimana lulusan graduate bisa masuk ke kancah global employability. Dia bisa bekerja di dunia global, lintas negara, dan perusahaan-perusahaan multinasional. Hanya, kita sadar, berapa persen pelajar kita bisa diarahkan ke situ? Saya sadar, kami di Binus menargetkan 1 dari 3 lulusan harus bisa mencapai target itu.

Jadi, pada kerja sama ini Binus akan fokus sekali ke graduate, ya?

Sebagai institusi swasta, sejauh ini kami fokus pada graduate dulu. Selama ini, Binus mendapat brand bahwa lulusannya mudah dapat kerja. Tetapi kita belum puas, kita juga maunya mereka bisa mudah masuk ke kancah persaingan internasional.

Di sebuah perusahaan di Indonesia yang besar sekalipun adalah hal biasa kalau lulusan UI dan Binus bisa ketemu. Lulusan ITB atau PTN atau PTS lain bisa ketemu pun lumrah, tapi kalau ketemu di dunia internasional masih sedikit, sangat sedikit. Kita harus lebih banyak berhadapan dengan lulusan asing. Kita harus mampu bersaing di situ.

Tadi Anda katakan bahwa dengan kerja sama ini Binus bisa belajar banyak soal riset aplikasi. Kenapa Binus tertarik dengan hal ini?

Terus terang, kita tidak ingin masuk ke basic research karena memang tidak punya kemampuan pada basic science, makanya riset-riset di Binus adalah riset-riset aplikasi, yang bisa dimanfaatkan langsung. Targetnya, Binus bisa meraih satu international paper per tahun. Ini kecil, tapi buat swasta ini besar.

Selain itu, kita mau ada 25 produk HAKI per tahun. Untuk itu, kita butuh kolaborasi ini. Mereka yang punya study abroad bisa masuk ke kampus kita, industri-industrinya juga bisa digarap untuk mengembangkan kerja sama ini.

Saya sadar, Binus ini swasta, pelan-pelan saja. Kalau riset sudah jalan, kami yakin, kami bisa dapat uang dari riset-riset aplikasi ini, dan itu bisa kita dapatkan dari industri.

Apakah industri di negara kita sudah bisa digandeng untuk kerja sama semacam riset aplikasi ini, terutama bekerja sama dengan Binus?

Kita lihat University of Sheffield, misalnya. Universitas ini ternyata bisa membuat industri percaya untuk memberikan risetnya kepada mereka seperti Roll Royce atau Nokia, mereka sudah percaya pada tim riset Sheffield. Untuk itu, Binus harus bisa melakukannya.

Sayangnya, rata-rata industri kita belum percaya untuk melakukan itu. Belum banyak industri yang membutuhkan riset-riset aplikatif dari para akademisi kampus. Riset pada bidang desain misalnya, itu bisa jadi kekuatan kami karena selama ini telah dilakukan di Binus.

Jadi, pada akhirnya menggandeng industri tidak sebatas untuk kerja sama saja, ya?

Tentu saja, tidak. Bagi kami, kerja sama dengan industri ini adalah bagaimana Binus tidak lagi bergantung pada intuisi. Kalau biaya operasional hanya bergantung pada uang mahasiswa, itu akan repot.

Mau berkembang cepat juga akan susah karena biaya studi harus dipertinggi. Sebaliknya, kalau tidak ditinggikan, mahasiswanya yang harus ditambah. Maka dari itu, biaya operasional pendidikan di Binus juga akan bertambah.

Untuk itulah, pelan-pelan saya ingin mencari sumber-sumber dana di luar intuisi. Memang, jalannya masih panjang untuk bisa menggantikan strategi itu, tapi dengan datang ke sini (Inggris) kami yakin bisa.

Akhirnya, dengan bantuan sebesar 10.000 poundsterling itu, apa harapan Anda membawa konsep internasionalisasi ini ke Binus?

Kita diharapkan bisa menjalin network dengan Inggris, dan dengan tangan terbuka kami menerima kemungkinan kerja sama ini. Karena jujur, selama ini Binus sudah bekerja sama dengan AS, Australia, dan negara-negara di Asia lainnya.

Setidaknya, kami datang ke Inggris kali ini adalah untuk mengenalkan Binus. Memang, hal ini agak sulit karena rata-rata yang datang dan kami kunjungi adalah PTN papan atas di Inggris, sementara kita adalah PTS.

Kedua, Binus ingin membuka wawasan seluas-luasnya tentang bagaimana perguruan tinggi bisa memperkuat risetnya, sekaligus kami belajar bahwa sumber pendanaan pendidikan juga bisa didapatkan dari biaya riset.

Maka dari itu, otomatis, ketika kerja sama sudah berjalan dan visi-misi WCU terpenuhi, maka ranking akan kami dapatkan dengan sendirinya. Ranking itu pada akhirnya sangat memengaruhi daya jual kampus di kancah internasional. Di sisi lain, WCU bagi PTN betul-betul diarahkan dan didukung oleh pemerintah, sementara untuk swasta tidak. Makanya, pendekatan kami harus lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com