Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan dan Kekerasan di Sekolah

Kompas.com - 01/04/2010, 03:23 WIB

Nunung Sulastri

Sebentar lagi musim masuk ke perguruan tinggi akan tiba. Banyak orangtua yang akan memasukkan anaknya ke perguruan tinggi mulai khawatir nasib anak mereka terkait dengan perpeloncoan berbalut kekerasan.

Meski kekerasan jenis ini telah berulang kali diberitakan, seperti kekerasan yang dilakukan siswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), tetap menarik melihat fenomena ini dari analisis jender, terutama kekerasan yang dilakukan pelajar putri. Konstruksi sosial tentang perempuan dan lelaki tentang citra diri baik lelaki maupun perempuan dan hubungannya dengan perilaku dapat menjelaskan mengapa kekerasan itu terjadi.

Masyarakat mengonstruksi secara sosial perempuan dan lelaki untuk bertingkah laku berbeda. Perempuan mendapat predikat feminin: pasif, lembut, pengalah, sabar. Lelaki dianggap maskulin: agresif, kasar, pemberani, menangan, tak sabaran. Meskipun peran lelaki dan perempuan sering dinyatakan sebagai setara dan seimbang, saling mengisi dan melengkapi, dalam kenyataannya peran lelaki di dunia publik tetap dianggap lebih utama dan penting daripada peran perempuan yang identik dengan lingkup domestik.

Dalam situasi sosial itu, tak mengherankan jika anak perempuan seperti mengidolakan ”menjadi seperti lelaki”. Hal yang paling mudah ditiru adalah mengadopsi perilaku yang diasosiasikan pada maskulinitas. Di sisi ini kita bisa memahami mengapa anak perempuan melakukan tindak kekerasan kepada perempuan lain. Mereka sedang menunjukkan sisi maskulinitas dirinya dan mereka menganggap itu tindakan hebat.

Tidak eksklusif

Kekerasan memang bukan eksklusif perilaku lelaki sebab kekerasan bukan bawaan, melainkan konstruksi sosial atau didikan dan pola asuh. Secara teoretis, kekerasan hanya dimungkinkan bila terpenuhi kondisi yang memungkinkan. Menurut Lies Marcoes (Gender dan Pembangunan, 2002), setidaknya ada tiga hal yang bisa menjelaskan pola kekerasan bila menggunakan analisis jender.

Pertama, kekerasan hanya terjadi manakala ada ketimpangan relasi. Dengan begitu, kekerasan bisa dialami siapa saja dalam hubungan hubungan yang timpang. Misalnya, kekerasan perbedaan ras, antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, antara orang tua/dewasa dan anak-anak, antara guru dan murid, lelaki dan perempuan, perempuan dewasa/kakak kelas dengan perempuan lebih muda/adik kelas.

Di sekolah, kekerasan terjadi antara kakak kelas dan adik kelas di mana relasi itu sedemikian rupa timpangnya sehingga kakak kelas bisa berbuat semena-mena kepada adik kelas.

Kedua, kekerasan selalu berangkat dari adanya stereotip tentang korban. Misalnya, dalam relasi warga kulit putih dan kulit hitam, kekerasan berangkat dari suburnya anggapan bahwa orang-orang kulit hitam pelaku kriminal, penjahat, pengedar narkoba, dan pembuat keonaran. Adanya anggapan itu membuat warga kulit putih merasa punya legitimasi melakukan tindakan kekerasan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com