Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan Sejarah Dalam Selembar Kartu Pos

Kompas.com - 17/04/2010, 13:38 WIB

Oleh Herlambang Jaluardi

Penyair Sapardi Djoko Damono pernah menulis puisi berjudul "Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Francisco". Selain menuangkan romantisme, selembar kartu pos juga bisa menjadi mata sejarah perkembangan sebuah kota.

Puisi Sapardi itu menggambarkan pemandangan jembatan Golden Gate di San Francisco, Amerika Serikat. Lewat kartu itu Sapardi menulis tentang kabut yang menggelayut di tiang-tiang jembatan dan matahari yang tersapu olehnya. Imajinasi sang penyair yang dirangsang gambar kartu pos itu begitu kuat sehingga bisa menghasilkan puisi yang menyiratkan kepedihan.

Ada juga kartu pos yang menceritakan keindahan kota yang dikunjungi seseorang ketika berlibur. Harapannya, sang penerima bisa mengetahui seperti apa kota yang dikunjungi pengirimnya dan syukur-syukur bisa menularkan kebahagiaan liburan.

Beberapa tahun berselang, saat teknologi telepon seluler dan internet belum mewabah seperti saat ini, kartu pos bahkan digunakan sebagai syarat kepesertaan sejumlah kuis di majalah atau koran. Peserta kuis menuliskan jawaban di bidang kosong, lengkap dengan guntingan kupon. Kartu pos berwarna oranye tanpa gambar itu pun turut mendukung kemujuran seseorang.

Pada kurun waktu 1920-1930 banyak perusahaan di Indonesia memakai kartu pos sebagai media berpromosi, semisal produk susu kental manis Bendera dan mesin jahit Singer. Di buku Oud Bandoeng dalam Kartu Pos yang disusun Sudarsono Katam tercantum juga kartu pos yang berfungsi sebagai undangan pernikahan.

Murwidi U Narnowo, kolektor kartu pos, mengaku masih menyimpan puluhan kartu pos dari kekasih yang kini menjadi istrinya. Perempuan yang dicintainya itu rajin mengirim kartu pos dari negara yang sedang dikunjungi, seperti Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Gambar-gambar di kartu itu tak lupa dibubuhi pernyataan cinta atau rindu.

"Istri masih menyimpan juga kartu pos balasan saya. Kumpulan kartu-kartu itu menjadi saksi sejarah kehidupan kami," kata pemilik penerbit Khazanah Bahari ini. Hingga kini Murwidi punya sekitar 1.000 kartu pos dari berbagai negara dan 250 kartu bergambar panorama Kota Bandung.

Baginya, kartu pos menyiratkan relasi yang hangat dengan orang lain meski hanya mencantumkan kabar singkat. Menurut dia, bentuk fisik kartu tidak tergantikan oleh surat elektronik bergambar meskipun tempo pengirimannya menjadi jauh lebih cepat.

Perubahan

Namun, fungsi penting kartu pos yang mungkin terlewatkan banyak orang adalah kemampuannya merekam perubahan sebuah kota. Hal itulah yang coba diangkat Sudarsono melalui bukunya yang dihubungkan dengan peringatan hari ulang tahun ke-200 Kota Bandung tahun ini.

Dalam buku setebal 316 halaman itu terdapat sebuah kartu pos bergambar Masjid Agung Bandung dengan tahun cetakan 1920-an. Di kartu pos itu terlihat pohon beringin di alun-alun sebagai latar depan. Barisan delman tampak ramai parkir di depan masjid yang masih berkubah gaya bale nyungcung.

Di halaman sebelahnya ada kartu pos yang diproduksi sekitar 1950-an dengan gambar masjid yang sama, tetapi bentuk kubahnya berubah menyerupai bawang. Dalam keterangan di bawah gambar kartu pos itu disebutkan, perubahan bentuk kubah merupakan usulan Presiden Soekarno sebagai persiapan Konferensi Asia Afrika tahun 1955.

Tengok pula kartu pos bergambar rumah tinggal di pojok Jalan Merdeka dan Jalan LL RE Martadinata yang kini telah berubah fungsi sebagai toko kue dan roti Holland Bakery.

Dalam kartu pos yang diproduksi sekitar tahun 1900-an itu terlihat sebuah menara dengan atap berbentuk limas. Di atas gambar kartu itu ada foto yang menunjukkan suasana di lokasi tersebut pada 2006. Menara beratap limas itu sudah tidak tampak lagi.

Menurut Sudarsono, kartu pos dan benda filateli lain, seperti prangko dan sampul hari pertama, akan bermakna bila pengumpulnya memiliki ketertarikan terhadap hal yang tersirat dalam obyek benda filateli tersebut.

"Tahun produksi (benda filateli) bisa menjadi kunci untuk mendalami apa yang terpampang. Ambil contoh seri prangko Konferensi Asia Afrika. Sudah banyak yang tahu kalau konferensi itu digelar di Gedung Merdeka. Tapi, dengan penelusuran lebih jauh, kita bakal lebih tahu bahwa konferensi tidak diselenggarakan di gedung itu saja,"kata penulis yang sudah menghasilkan empat buku itu.

Dalam buku itu Sudarsono mengakui bahwa prangko atau kartu pos belum diakui sepenuhnya sebagai sumber sejarah. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa gambar-gambar yang terpampang dan kalimat yang tersurat menjadi saksi perubahan sebuah kota dan tentu saja perjalanan kehidupan manusia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com