Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menimbun Impunitas....

Kompas.com - 12/05/2010, 08:07 WIB

Oleh Hendardi *

KOMPAS.com - Banyak orang mengenang beberapa hari terburuk pada bulan Mei yang saling mengait. Pertama, peristiwa penembakan di Universitas Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa pada 12 Mei 1998. Kedua, peristiwa yang dikenang sebagai Tragedi Mei pada 13-15 Mei tahun yang sama.

Kedua kasus itu tak pernah diselesaikan oleh pemerintah dan penegak hukum terkait pihak yang paling bertanggung jawab kendati mereka yang memerintah justru menikmati buah politik dari reformasi yang didukung mahasiswa. Apalagi ditambah dengan kasus-kasus sebelumnya.

Hingga kini keluarga korban dan mereka yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atau kejahatan politik pada masa lalu masih terus dihantui oleh mereka yang tetap menikmati pembebasan dari hukuman (impunity) dan terus gentayangan dengan bebasnya.

Korban pelanggaran HAM itu tak hanya berlangsung pada 1998 serta Semanggi I dan II, juga sebelumnya kasus penculikan atau penghilangan paksa atas sejumlah aktivis 1997-1998, peristiwa penyerbuan Kantor PDI pada 27 Juli 1996, Marsinah (1993), hingga awal rezim Soeharto dalam kasus 1965-1966.

Para korban bukan saja dihantam oleh pelanggaran HAM berat, tetapi juga diperlakukan secara keji sebagai korban kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) atau genosida politik maupun bentuk kejahatan politik lainnya.

Pemerintah pascareformasi lebih terkesan hanya menimbun kasus atau impunitas sehingga selalu ditandai dengan kegagalan dalam menyelesaikannya secara terhormat. Dan, memang, tak pernah seorang pun yang paling bertanggung jawab diajukan ke muka pengadilan.

Pengadilan HAM ad hoc ataupun permanen memang telah digelar, tetapi dijalankan hanya untuk menuai akhir yang buruk—langgengnya impunitas—seperti dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur (1999) dan Abepura (2000). Mereka yang paling bertanggung jawab tetap saja bebas berkeliaran.

Begitu juga kasus pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM Munir (2004). Pengadilan hanya mampu menghukum Pollycarpus Budi Priyanto. Selebihnya, hanya Muchdi Pr yang sempat ditahan beberapa bulan, tetapi tetap saja diputus bebas.

Nasib para korban yang masih tak berujung adalah penghilangan paksa. Hingga kini mereka yang hilang belum juga ditemukan. Di manakah mereka berada? Apakah masih hidup atau telah meninggal atau dibunuh? Belasan tahun keluarga korban dibiarkan hidup dalam pertanyaan, tetapi juga tak pernah dijawab oleh aparat yang berwenang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com