Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aksi Mahasiswa Tidak Simpatik

Kompas.com - 12/05/2010, 21:32 WIB

KOMPAS.com — Rabu ini, 12 Mei, Tragedi Trisakti diperingati. Memori saya pun terseret mengenang peristiwa itu, mengenang pula beberapa demo susulan. Tahun itu, saya juga masih duduk di bangku kuliah. Beberapa teman seangkatan di kampus Depok juga tertembak meski oleh peluru karet, meski pada hari berbeda. Masih di tahun itu, saya juga pernah menjadi relawan di RSCM menjaga mahasiswa korban.

Tadi siang, Jakarta pun diramaikan oleh demonstrasi Tragedi Trisakti. Namun, pikiran saya malam ini disibukkan oleh permenungan-permenungan tentang demonstrasi, bukan mengenai materi demonstrasi. Mengapa? Karena aksi demonstrasi mahasiswa itu, terutama oleh beberapa oknum mahasiswa, sungguh tidak simpatik.

Tragedi saya pertama hari ini, adalah ketika hendak menuju Kementerian Perhubungan. Tadi siang, saya bertemu Agus Imansyah, pentolan KRL Mania, di Pacific Place untuk bercakap-cakap mengenai kereta Jabodetabek dan problematika transportasi di Jakarta. Seusai pertemuan, saya memutuskan untuk naik busway ke Jalan Merdeka Barat, ke Gedung Kemenhub.

Akan tetapi, sesampainya di Thamrin, lalu lintas nyaris tak bergerak. Kira-kira ada enam busway terjebak dalam kemacetan. Ternyata, mahasiswa-mahasiswa bermotor memblokir lalu lintas di dekat Bundaran Air Mancur. Jalur busway di Merdeka Barat tak lagi dapat dilintasi, dan busway dialihkan melalui Jalan Abdul Muis.

Abdul Muis adalah jalan kecil. Tak pelak, lalu lintas menjadi kacau-balau karena Merdeka Barat praktis ditutup. Seorang ibu di samping saya bergumam, kenapa sih jalur busway harus ditutup? Kita jadi menderita. Kenapa sih? Saya tidak menjawab. Saya tidak tahu.

Terlintas di benak saya saat itu, bila tujuannya ingin demonstrasi di depan Istana Negara, mengapa mahasiswa tidak naik taksi secara terpisah saja? Atau, mengapa tidak menggunakan mobil-mobil pemberian orang tua mereka, yang diparkir di kampus-kampus?

Mengapa harus konvoi ramai-ramai, menutup arus kendaraan, dan menyengsarakan warga dengan kemacetan yang ditimbulkannya? Bukan simpati yang mereka dapatkan, tapi sebaliknya, umpatan warga di tepi jalan. Tidakkah mata dan hati mereka peka melihatnya? Saya sungguh tidak tahu.

Tragedi saya kedua hari ini adalah ketika hendak pulang. Lalu lintas macet total karena, lagi-lagi, mahasiswa menutup arus dari Jalan Cideng. Mengapa? Karena belasan minibus hendak lewat mengangkut mahasiswa berjaket biru itu pulang. Belasan minibus itu menerobos lampur merah. Tapi yang lebih menakjubkan adalah, mahasiswa melaju di jalur busway Harmoni-Kalideres.

Dalam hati saya berkata, bukankah beberapa hari lalu warga Ibu Kota ini berlomba-lomba menghujat seorang menteri yang melintas di jalur busway? Jadi, mengapa kini tak ada seorang pun yang menghujat para mahasiswa itu? Mengapa tidak ada media online yang ramai-ramai memberitakan pelanggaran ini? Apakah mahasiswa boleh melaju di jalur busway? Kebal hukumkah mereka? Bila polisi berani mengatakan tak pernah mengizinkan menteri lewat, masak takut dengan mahasiswa?

Bila begitu, alangkah hebatnya mahasiswa-mahasiswa itu. Dan mungkin, kita menghakimi menteri itu jangan-jangan bukan karena tindakan melawan hukum yang dilakukannya dengan melintas di jalur busway, sebaliknya hanya karena dia pejabat maka dihakimi. Lantas akan adakah sanksi sosial buat mahasiswa di jalur busway? Lagi-lagi, saya tidak tahu.   

Beberapa menit lalu saya menelepon Rudy Thehamihardja, seorang pengamat transportasi, untuk berkeluh kesah. Kata-katanya masih mengiang di telinga saya. Apakah ada kendaraan umum dalam konvoi demonstrasi itu? Ada kok. "Lantas, apa mereka pikir berhak begitu saja menggunakan kendaraan umum di jam-jam petang, saat warga kesulitan angkutan umum?," kata Rudy.

Ucapan Rudy membuat saya berpikir keras. Dia berkata benar. Kita sering kali lupa bahwa di tengah kelangkaan angkutan umum di Ibu Kota ini, para demonstran kerap kali merebut hak rakyat untuk pulang dengan nyaman lantaran tiada angkutan umum di rute-rute tertentu! Demonstrasi sesungguhnya adalah hak tiap warga, tetapi jangan sampai merebut hak warga lainnya atas pelayanan transportasi.

Dan, apakah mahasiswa tadi memikirkan hal ini? Apakah mereka sadar bahwa penumpukan warga di halte-halte bus mungkin ada korelasinya dengan langkanya angkutan umum karena mereka gunakan untuk konvoi. Apakah mahasiswa berpikir? Apakah mereka sadar? Saya benar-benar tidak tahu.

Paling memprihatinkan buat saya adalah ketika dua kendaraan dari konvoi kendaraan para demonstran mengantre, dan saya mendengar beberapa mahasiswa berjaket biru bernyanyi, "Jakarta macet... Jakarta macet... Ja... karta macet." Nyanyian itu didengar puluhan pengendara motor yang terjebak dan belasan pengemudi mobil. Jadi, mungkinkah aksi mereka menimbulkan simpati. Saya sudah bilang berkali-kali, saya tidak tahu!

Yang saya tahu karena saya melihat, saya mendengar, dan saya merasakan bahwasanya aksi mereka makin memacetkan Ibu Kota ini, yang sebenarnya tanpa aksi mereka pun sudah macet.

Sebenarnya, saya sungguh menaruh hati untuk para korban tragedi Trisaksi. Namun, aksi mahasiswa hari ini menodai simpati saya, simpati siapa pun juga. Bila mereka gentleman, mungkin esok hari kita akan melihat surat pembaca yang intinya adalah permintaan maaf mahasiswa kepada rakyat atas kemacetan yang mereka timbulkan.

Akankah mereka gentlemen? Saya sungguh-sungguh tidak tahu....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com