JAKARTA, KOMPAS.com - Apa lacur para guru di SD RSBI 2 Rawamangun Pagi melakukan intimidasi terhadap beberapa siswa lantaran orang tua mereka kritis? Ternyata, masalahnya sudah bertahun lalu, tepatnya antara tahun 2008 dan 2008.
Masalah mencuat ketika mulai tercium adanya penyimpangan-penyimpangan pada dana block grant RSBI, yang diduga oleh pihak sekolah, diadukan oleh para orang tua murid itu ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Badan Pemerika Keuangan RI, serta Kementrian Pendidikan Nasional RI.
Sayangnya, pengaduan itu sampai saat ini belum juga berujung terselesaikan, karena masih dalam proses penyelidikan. Bahkan, pada 2009 lalu, para orang tua murid yang anak-anaknya diintimidasi itu beramai-ramai melapor ke BPK.
"Kenapa guru-guru dipanggil kejaksaan, karena kami yang masih peduli ini mau terus memperbarui laporan-laporan dan menambah data-datanya. Ditambah lagi, ada laporan dari bekas bendahara komite sekolah yang memang mengetahui penyelewangan data-data di sekolah itu," lanjut Eva Rais kepada Kompas.com, Jumat (4/6/2010).
Eva adalah mantan orang tua murid SDN RSBI 12 Rawamangun. Karena kecewa dengan kebobrokan sekolah tersebut, ia terpaksa mengeluarkan anaknya dari sekolah itu sejak 6 bulan lalu dan pindah ke sekolah swasta.
Menurut Eva, prosedur bagi komite sekolah dalam mengeluarkan uang harus sesuai dengan anggaran. Anehnya, kata dia, ketua pengurus komite sekolah periode 2008/2009 di sekolah tersebut mengatakan ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan di luar anggaran. Eva mengaku mengantongi bukti-bukti tersebut.
"Dan bukan hanya dana block grant, tetapi juga dana BOS dan BOP," timpal Heru Narsono, salah satu orangtua murid, usai bertemu Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), di Jakarta, Jumat (4/6/2010).
Benang kusut
Seperti benang kusut, seperti yang pernah diberitakan Kompas.com, Senin (1/3/2010) silam, dugaan korupsi yang menyasar ke SDN RSBI 12 Rawamangun Pagi, Jakarta Timur, ini memang menyangkut tiga wadah pengucuran anggaran, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), serta dana block grant RSBI.
Hal itu diungkapkan peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri seusai pertemuan antara ICW, Koalisi Anti Korupsi Pendidikan (KAKP), dan Inspektorat Pemprov DKI Jakarta di Gedung Balaikota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, saat itu. Febri mengatakan, sekolah ini diduga telah mengorupsi dana yang merupakan biaya operasional peningkatan status sekolah bertaraf nasional (SBI) menjadi internasional ini.
"Nilainya mencapai Rp 500 juta," ungkap Febri.
Menurutnya, selama 3 tahun sekolah tersebut mendapatkan dana, yaitu pada 2007, 2008, dan 2009. "Data 2008 dan 2009 masih terus kami gali, dan yang tahun 2007 itulah nilai proyeknya yang sampai Rp 500 juta," ujar Febri.
Hasilnya, ICW berhasil melakukan verifikasi. Dari total nilai Rp 500 juta tersebut, dana fiktif yang ditemukannya mencapai Rp 150 juta.
Puncak intimidasi
Pantas saja kalau guru-guru SDN RSBI 12 Rawamangun Pagi itu menjadi "gerah" dengan sikap dan tindakan kritis para orang tua murid itu. Sampai pada akhirnya, intimidasi dan ancaman psikologis yang dilancarkan terhadap siswa dan orang tua murid pun seolah menjadi cara untuk membalasnya.
Puncaknya, Senin (31/5/2010), pekan lalu, Aria Bismark Adhe, seorang siswa kelas 6 sekolah tersebut, tidak diperbolehkan mengikuti ujian akhir sekolah (UAS). Adhe diminta keluar dari ruang ujian oleh pihak sekolah setelah sebelumnya diberikan sebuah surat pemberitahuan untuk diberikan kepada orangtuanya, Drs Handaru Widjatmoko, yang dianggap oleh sekolah sebagai pelapor dugaan korupsi di sekolah tersebut.
Eva Rais, salah seorang mantan orang tua murid, membenarkan kejadian tersebut. Menurut dia, kejadian itu sangat menyedihkan dan memalukan, melihat seorang anak sekolah diusir keluar sekolah dan dibiarkan menangis di luar pagar sekolah karena tidak diperbolehkan mengikuti UAS bersama teman-temannya.
Bukan hanya itu yang menyedihkan. Heru Narsono, salah satu orang tua murid lainnya memaparkan, ketika sedang berlangsung rapat antara para guru dan orang tua murid di sekolah tersebut Kamis (3/6/2010), ada dua anak yang disandera di ruang guru, yaitu anak dari orang tua murid bernama Dr Oki dan Ibu Ida.
"Mereka dikeluarkan dari kelas dan disuruh menunggu di ruang guru. Bahkan, ada guru kelas 5, namanya Pak Rosim, yang menyatakan dengan tegas dirinya tidak rela jika soal matematikanya dikerjakan oleh Safa, yang tak lain anak dari Pak Kaka, rekan kami," ujar Heru.
Heru berkisah, Kaka atau lengkapnya Kaka Tayasmen, adalah salah satu orang tua murid yang selama ini juga kritis terhadap kebijakan-kebijakan pihak sekolah. Safa diintimidasi oleh Pak Rosim dengan kata-kata, bahwa orang tuanya suka memfitnah.
Dengan geram, Heru mengisahkan, Safa diminta tidak boleh lagi belajar di kelas dan disuruh keluar membawa bukunya. Namun, begitu sampai di ruang guru, seorang guru lainnya yang bernama Ismet, malah menyuruh Safa mengambil tas dan berkata bahwa Safa tidak boleh belajar di sekolah ini.
"Saya heran, yang di sekolah ini guru atau bukan sih?" kata Heru.
Anehnya, ketika pada Jumat (4/6/2010) siang, didatangi oleh Kompas.com, petugas keamanan sekolah menyampaikan bahwa pihaknya tidak melayani wartawan yang datang sesuai dengan ketentuan Suku Dinas Pendidikan Dasar 02 seperti yang terpampang di pagar sekolah.
"Enggak boleh, Mbak, kecuali ada surat dari kepala seksi dinas," ujarnya.
Dalam peraturan yang terpampang di pagar sekolah tersebut, kepala sekolah disebutkan tidak perlu melayani wartawan, LSM, DPRD provinsi, kanwil provinsi, dinas pendidikan provinsi, terutama terkait panggilan yang sifatnya klarifikasi tanpa persetujuan Kepala Seksi Dinas Pendidikan Dasar Kecamatan Pulogadung terlebih dahulu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.