Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendiknas Didesak Bentuk Badan Akreditasi Lain

Kompas.com - 13/08/2010, 20:14 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) mendesak agar Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh segera menginjinkan adanya badan akreditasi lain selain Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi.

Hal tersebut dikarenakan, menurut Ketua APTISI, Suharyadi, BAN PT yang ada saat ini tidak mampu menangani akredikasi program studi seluruh Perguruan Tinggi secara obyektif, transparan, terbuka, dan komprehensif.

"Kami meminta Mendiknas segera merealisasikan Undang-Undang Sisdiknas, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri untuk segera badan akreditasi nasional bukan satu-satunya," ujar Suharyadi dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (13/8/2010).

Selain itu, APTISI mendesak Mendiknas agar mengevaluasi proses penilaian BAN PT sekaligus personalia atau anggota BAN PT yang melakukan penilaian terhadap perguruan-perguruan tinggi swasta.

Karena, sebut Suharyadi, anggota BAN PT tidak dapat memahami kondisi perguruan-perguruan tinggi swasta Indonesia seperti yang di daerah. "Anggota BAN di pusat minimal pernah jadi pejabat struktural, minimal ketua jurusan, syukur bisa dekan, bisa rektor. Termasuk juga asesor yang dikirim, karena yang belum pernah menjabat pejabat struktural, arogannya luar biasa," tambah Suharyadi.

"Ada asesor (personalia BAN PT) yang menggunakan standar luar negeri untuk mengakreditasi perguruan tinggi daerah," ujar Ketua APTISI Jawa Barat, Budi Djatmiko.

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia mengeluhkan BAN PT yang ada saat ini karena sebagian besar perguruan tinggi swasta mengalami penurunan akreditasi yang drastis.

Pada 1997 jumlah perguruan tinggi yang akreditasinya A mencapai 24 persen. Sedangkan saat ini hanya sekitar 8 persen. Terlebih saat ini dalam penerimaan calon pegawai baru, pemerintah menerapkan standar akreditasi perguruan tinggi lulusan. "Lebih fair kalau dalam konteks IPK, kalau dengan akreditas terkesan diskriminatif dan melanggar HAM," imbuh Suharyadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com