Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Difabel di Negara Maju

Kompas.com - 07/09/2010, 04:49 WIB

Tanggal 2-13 Maret lalu, 14 mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan seorang dosen pembimbing bertolak ke Jerman, mengikuti program Study Visit to Germany yang disponsori Deutscher Akademischer Austausch Dienst/German Academic Exchange Service atau DAAD.

engan membawa hasil penelitian berjudul Psychological, Social and Economic Rehabilitation of Disabled as A Result of Disaster: A Case Studies of Disabled of Yogyakarta Earthquake in 2006, tim mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan studi banding mengenai proses rehabilitasi dan sistem jaminan sosial bagi difabel di kedua negara.

Penelitian ini dilakukan oleh enam mahasiswa Fakultas Psikologi, lima mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik, dan tiga mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Mereka berusaha membidik proses rehabilitasi difabel akibat gempa Yogyakarta 2006, dari tiga macam sudut pandang: psikologi, sosial, dan ekonomi.

Penelitian dilakukan di Mandiri Craft Yogya, industri rumahan mainan peraga pendidikan yang memberdayakan difabel sebagai tenaga kerjanya. Beberapa karyawan Mandiri Craft itu difabel akibat gempa Yogyakarta 2006.

Tertarik mendiskusikan hasil penelitian mereka dengan dunia internasional, mereka lantas mengajukan riset tersebut untuk program Study Visit to Germany DAAD. Program ini memfasilitasi kelompok mahasiswa untuk melakukan perjalanan akademis dan studi banding di Jerman sesuai dengan tema kajian yang diajukan.

Proyek tim mahasiswa dibimbing Profesor Susetiawan dari Fakultas Ilmu Sosial Politik UGM. Di samping mendiskusikan riset di Universitas Leipzig dan Universitas Cologne, tim Study Visit UGM juga mengunjungi lembaga advokasi kaum difabel, sekolah khusus anak-anak penyandang cacat fisik, dan mengobservasi fasilitas bagi difabel di ruang publik di Jerman.

Fasilitas prima

Hal paling menonjol dari pelaksanaan sistem jaminan sosial bagi difabel di negara maju seperti Jerman adalah aksesibilitas fasilitas publik. Meski tak semua kategori cacat fisik dapat terakomodasi, tetapi hampir semua infrastruktur publik di Jerman menyediakan aksesibilitas bagi difabel.

Sarana transportasi umum, misalnya, pintu bus atau kereta dibuat lebar dan sejajar halte, ini memudahkan kursi roda masuk. Di dalam kereta terdapat tulisan imbauan untuk mengutamakan tempat duduk bagi difabel dan pemberitahuan suara menjelang setiap pemberhentian kereta.

Pemerintah Jerman juga membebaskan biaya sekolah anak-anak berkebutuhan khusus. Fasilitas sekolahnya pun asyik. Foerderschule, sekolah khusus anak-anak penyandang cacat fisik di Cologne, misalnya, menyediakan mobil antar-jemput, makan siang, dokter anak, ahli gizi, serta fasilitas terapi dan olahraga bagi murid.

Meski para pengajar mengaku kesulitan membagi kelas karena tingkat kemampuan peserta didik yang berbeda-beda, proses pengajaran di sekolah ini relatif lancar. Para pengajar dibantu beberapa murid sekolah menengah atas dan mahasiswa yang menjadi sukarelawan di sekolah itu.

Stigma dan keterbatasan

Serupa dengan yang dihadapi difabel di Indonesia, para difabel di Jerman juga bermasalah dengan stigma dan kesulitan akses lapangan kerja. Menurut Prof Mathilde Niehaus dari Unit of Labour and Vocational Rehabilitation Universitas Cologne, Pemerintah Jerman sudah menetapkan peraturan bahwa setiap perusahaan harus menyediakan kuota bagi tenaga kerja difabel. Bahkan sanksi berupa denda akan dikenakan jika perusahaan tak memenuhi kuota itu. Ternyata kebanyakan perusahaan memilih membayar denda.

Pemerintah lalu menginisiasi program Jobs ohne Barrieren— pekerjaan tanpa hambatan (JoB) untuk memperluas kesempatan kerja bagi difabel. Lewat beberapa yayasan sosial, program ini memberikan pelatihan keterampilan bagi difabel untuk terjun pada perusahaan skala kecil dan menengah.

Para difabel tak lantas berpangku tangan, mereka tetap giat melakukan advokasi kepada pemerintah dan masyarakat umum untuk menghilangkan stigma ”tidak mampu”, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik bagi difabel.

Dari dan untuk difabel

Salah satu lembaga difabel yang aktif melakukan advokasi adalah Zentrum Selbstbestimmt Leben (ZSL) di Cologne. Didukung pemerintah negara bagian North Rhine-Westphalia dan Universitas Cologne, selain advokasi, ZSL juga menyelenggarakan peer-counseling bagi difabel.

Model konseling ini unik karena baik pemberi maupun peserta konseling adalah difabel. Peer-counseling khususnya ditujukan bagi difabel yang memasuki usia nonproduktif, untuk proses penyesuaian diri yang berkelanjutan.

Masih dengan konsep dari ”difabel untuk difabel”, ZSL menerbitkan buku city guide Kota Cologne. Buku ini berisi panduan tempat dan sarana transportasi yang aksesibel sesuai dengan kategori cacat tubuh di Cologne. Harapan ZSL, buku ini bisa meningkatkan kemampuan difabel untuk ”berdiri sendiri”.

Pertukaran kebudayaan

Selain kegiatan akademis dan observasi lapangan, DAAD pun menjadwalkan kegiatan kultural untuk memperkenalkan budaya dan kehidupan sosial Jerman kepada peserta Study Visit. Tim Study Visit UGM antara lain mengunjungi Monumen Johann Sebastian Bach dan Museum Battle of the Nation di Leipzig, Museum Wartburg di Eisenach, Koelner Dom dan Museum Romano-Germanic di Cologne, Kastil Augustusburg di Bruehl, Museum The House of History di Bonn, dan pertunjukan opera.

Monumen dan museum dijumpai di hampir semua sudut kota di Jerman. Preservasi sejarah di museum rapi dan atraktif sehingga kunjungan ke museum tak membosankan.

Selain mempelajari sejarah dan budaya Jerman, tim Study Visit UGM juga memperkenalkan budaya Indonesia. Pada kunjungan ke universitas dan kantor pusat DAAD di Bonn, para mahasiswa membawakan tari Jawa tradisional, tembang macapat, dan workshop batik.

Pertukaran pengetahuan dan kebudayaan dalam program Study Visit tersebut juga diharapkan dapat mempererat hubungan dan meningkatkan kerja sama antara bangsa Indonesia dan Jerman.

(Acniah Damayanti Tim Study Visit UGM)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com