Saat melantik 17 anggota Konsil Kedokteran Indonesia masa bakti 2009-2014, 2 September 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpesan agar komunitas kedokteran Indonesia memerhatikan dua aspek, yaitu etika dan kompetensi. Perhatian Presiden terhadap kedua aspek itu tentu bukan tidak beralasan dan menjadi penting diperhatikan karena komunitas kedokteran justru diperhatikan di dua dari beberapa hal yang selalu mereka junjung tinggi sendiri.
Pendidikan kedokteran di Indonesia adalah cikal bakal pendidikan, yang merupakan pendidikan tinggi tertua, paling banyak menjalani pengalaman dan tetap akan menjadi pendidikan tinggi yang sangat menantang karena harus terus berkompetisi terhadap kecepatan perkembangan global, baik ilmu pengetahuan kedokteran maupun permasalahan kesehatan, dengan varian-varian baru.
Pendidikan Dokter Jawa pada tahun 1849 merupakan awal pendidikan kedokteran itu. Meski istilah dokter di situ tidak tepat, semangat yang dibangun itulah yang terus mendorong perkembangan pendidikan kedokteran di Indonesia. Dokter Jawa dicetak dalam masa pendidikan dua tahun dengan tugas utama sebagai ujung tombak menghadapi berbagai kasus penyakit dan wabah yang ditakuti pemerintah penjajahan Belanda. Tentu makin disadari pentingnya keberadaan dokter di tengah masyarakat sehingga secara bertahap pendidikan dibuat semakin terstruktur dan semakin mendekati bentuk struktur pendidikan yang dianut negara Belanda. Lama pendidikan pun terus mengalami penyesuaian.
School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang kemudian berkembang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Nederlands Indische Artsen School (NIAS) menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, serta Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, merupakan tiga fakultas kedokteran yang menjadi contoh pengembangan fakultas kedokteran lain sehingga saat ini ada 70 program studi/fakultas kedokteran di seluruh Indonesia.
Pertambahan ini tentu baik untuk meningkatkan daya saing juga guna memenuhi jumlah dokter yang dibutuhkan masyarakat. Dengan rasio umum pada setiap 4 juta penduduk dibangun sebuah fakultas kedokteran, jumlah fakultas kedokteran yang ada sekarang sudah cukup. Laju produksi keseluruhan adalah sekitar 5.000 dokter per tahun sehingga jumlah (kuantitas) yang dibutuhkan sesuai rasio akan tercapai pada 2014.
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, diikuti program Departemen Pendidikan Nasional tentang Paradigma Baru Pendidikan Kedokteran di Indonesia, maka Indonesia kembali mengalami pengembangan, antara lain, dengan dibentuknya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai badan regulator serta pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), juga Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), surat tanda registrasi (STR), dan program pemandirian (
Sebenarnya semua itu merupakan proses penjaminan mutu (
Kini kembali disadari bahwa jati diri seorang dokter secara naluriah harus sudah terbentuk, bahkan sejak sebelum seseorang masuk ke fakultas kedokteran. Hal ini dapat saja memicu pertanyaan, seolah ada sebuah keistimewaan. Hal yang berbeda jika dilihat dari aspek sebaliknya, yaitu tanggung jawab.
Perjalanan panjang pendidikan kedokteran di Indonesia ini telah membuktikan bahwa dari segi ilmu pengetahuan serta keterampilan, dokter Indonesia tidak perlu diragukan. Dokter lulusan Indonesia cukup banyak yang diterima melanjutkan pendidikan di negara maju, bahkan bekerja di sana. Cukup banyak pula dokter Indonesia diminta mengajar dan melakukan tindakan konsultatif di negara lain, termasuk negara dengan sistem kedokteran yang amat maju.
Sejak 2007 sampai dengan Juli 2010, tercatat 108 dokter Indonesia dibekali
Jika demikian, mengapa aspek etika dan kompetensi menjadi pesan khusus? Tampaknya ini berasal dari meningkatnya berita atau keluhan masyarakat tentang pengalaman mereka saat mencari layanan kesehatan. Meski layanan kesehatan tidak semata tanggung jawab dokter, secara positif harus dilihat bahwa keluhan masyarakat adalah tanda kecintaan dan harapan yang besar dari masyarakat kepada profesi dokter.
Rasio dosen dengan mahasiswa, jumlah dan variasi kasus yang harus dikuasai, serta ujian di setiap tahapan merupakan aspek yang amat diperhatikan. Uji Kompetensi Dokter Indonesia juga merupakan bagian utuh sehingga lulusan tidak hanya mampu mengonstruksi masalah serta tata laksana (yang disederhanakan dalam bentuk soal ujian) pada sekolahnya sendiri, tetapi juga dalam skala nasional. Baik fakultas kedokteran swasta maupun negeri sama-sama harus menjalani semua tahapan ini, termasuk tahap pemandirian segera setelah mereka angkat sumpah.
Aspek etika diberikan dalam bentuk mata ajaran (ceramah, diskusi), pencontohan (
Namun, ada hal di luar ini yang akan dengan cepat memberikan pengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap profesi kedokteran serta
Sampai akhir Juni 2010, di KKI tercatat 70.663 dokter berpraktik umum, tetapi hanya sekitar 7.000 dokter mengisi 9.000 puskesmas di seluruh Indonesia. Tidak adanya jaminan keselamatan dan kesejahteraan membuat banyak dokter ragu untuk bekerja di wilayah perbatasan, terpencil, dan kepulauan. Pemerintah daerah berperan besar untuk mengatasi hal ini. Dokter dan masyarakat adalah aset sebuah wilayah yang apabila dipadukan secara sinergi niscaya mampu mengakselerasi pembangunan wilayah.
Maka, sebenarnya mencapai tingkat layanan kesehatan masyarakat yang prima berbasis pelayanan kedokteran yang berkualitas merupakan tanggung jawab semua pihak. Menjadi tanggung jawab semua dokter untuk berbuat terbaik sebagai komunikator, pelayan kesehatan, dan pengambil keputusan dalam melaksanakan manajemen kesehatan serta menjadi pemimpin masyarakat (