”Gerakan pemberantasan korupsi memang gencar, tetapi itu dilakukan dalam kevakuman ideologis. Orang teriak korupsi, tetapi ketika memimpin lembaga publik ia melakukan nepotisme. Nepotisme itu, kan, sumber korupsi. Orang teriak korupsi, tetapi dia memperkuat oligarki,” kata Busyro, yang juga calon unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, di Jakarta, Jumat (24/9).
Busyro diminta menanggapi fenomena korupsi yang semakin menggurita, tetapi upaya radikal untuk pemberantasannya seperti membentur tembok.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenal Arifin Mochtar berpendapat, kegagalan gerakan pemberantasan korupsi selama ini lebih disebabkan tidak adanya konektivitas kerja di berbagai lini.
Padahal, baginya, korupsi yang terjadi saat ini merupakan akumulasi kesalahan yang dibangun pada masa lalu, baik kesalahan pembangunan manusia, pembangunan sistem, pembangunan pendidikan, maupun pembangunan sektor lainnya.
”Korupsi itu ibarat butiran salju kecil yang kini sudah membesar. Mengurainya sangat sulit. Perlu dekonstruksi terhadap semua persoalan,” ujar Zaenal.
Dekonstruksi ini dilakukan dengan cara membalik cara pikir, cara memandang persoalan, dan membalik sistem. Semua orang dan semua lini harus menyadari dan memulai proses ini. Hal ini harus dibarengi dengan pembuatan interupsi-interupsi kecil dalam bidang penegakan hukum dan pencegahan korupsi.
”Harus kerja kolektif. Penindakan dan pencegahan tidak menyelesaikan masalah. Penindakan itu, kan, cuma terkait organ, bukan sistem,” katanya.
Zaenal sepakat bahwa korupsi memang membudaya. Mengutip survei Universitas Paramadina, Jakarta, bekerja sama dengan Pride Indonesia, orang Indonesia memang mudah disuap. Hal ini menjawab mengapa pemilu
Namun, Busyro Muqoddas tidak sepakat jika dikatakan korupsi sudah membudaya. Menurut dia, korupsi belum menjadi budaya. Hanya, korupsi sudah merupakan fenomena yang menggelisahkan sekaligus mengancam keselamatan masa depan bangsa. Tak cuma keselamatan ekonomi, tetapi juga berimplikasi luas, seperti pemiskinan budaya, nilai moral, kemiskinan politik, dan empati sosial.
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat secara terpisah menilai, kultur agama di Indonesia belum sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan korupsi.
”Kultur agama begitu kuat. Seakan-akan berbagai kesalahan vertikal maupun horizontal bisa diselesaikan dengan agama. Jadi, kalau orang melakukan kesalahan, seperti korupsi, kesalahannya dianggap diputihkan jika melakukan ibadah haji atau pergi ke gereja,” kata Komaruddin.
Kultur agama seperti itu memperlemah penegakan hukum. ”Tugas agama bukan mengatasi korupsi atau menjadi eksekutor. Agama hanya memberikan pesan moral,” kata Komaruddin.