Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nilai Ekonomi Selembar Ijazah Palsu

Kompas.com - 01/10/2010, 11:10 WIB

KOMPAS.com — Motivasi ekonomi yang bertemu dengan sikap pragmatis dan lemahnya pengawasan telah memicu berbagai praktik tidak terpuji mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir. Sekitar lima tahun lalu, pemberitaan media diramaikan kasus terbongkarnya institut ”abal-abal” yang mengaku berafiliasi dengan sejumlah perguruan tinggi luar negeri yang sebenarnya adalah praktik menjual gelar akademik palsu.

Praktik penjualan gelar sarjana hingga doktor oleh institut tersebut telah dilakukan sejak tahun 1990-an. Hingga ditutup pada tahun 2005, institut jadi-jadian tersebut telah banyak menelan korban dari kalangan pejabat, pegawai negeri sipil, hingga artis.

Dunia pendidikan Tanah Air sudah lama mengenal fenomena ijazah palsu. Ijazah palsu ini meliputi pemberian gelar palsu tanpa kewajiban menempuh pendidikan akademik semestinya hingga ijazah yang dihasilkan dari jual beli tugas akhir semacam skripsi, tesis, ataupun disertasi.

Hasil pengumpulan pendapat pada pertengahan September ini menunjukkan, sebagian besar responden (54,0 persen) menyatakan pernah mengetahui tawaran pembuatan skripsi/tesis baik secara terang-terangan ataupun terselubung. Sebanyak 57,4 persen responden juga menengarai praktik pembuatan skripsi/tesis/ijazah palsu kini semakin parah.

Saat ini, jasa ”membantu” menyusun skripsi/tesis tidak lagi ditawarkan secara sembunyi-sembunyi, tetapi secara terang-terangan melalui media cetak, dunia maya melalui internet, hingga iklan di seputar kampus. Selain itu, pengalaman pribadi sekitar seperempat responden yang pernah menyusun skripsi/tesis menyatakan, mereka juga mendapat bantuan dalam menyusun skripsi, baik sebagian maupun seluruhnya.

Dari penilaian responden, tampak alasan terbesar yang melatarbelakangi bisnis pembuatan tugas akhir tersebut adalah motivasi ekonomi untuk mendapat penghasilan lebih (40,6 persen responden). Alasan berikut (22,9 persen) karena mahasiswa masa kini lebih menyukai kepraktisan dalam membuat tugas akhir dan menganggap hal itu sebagai ”biasa”.

Dua alasan berikut adalah faktor sulitnya menyusun skripsi dengan standardisasi yang ditetapkan kampus, dan pada sisi lain didukung longgarnya pengawasan akademik yang diterapkan oleh pihak kampus.

Faktor pendorong

Mengapa masyarakat, terutama di dunia pendidikan, sangat ”tergila-gila” gelar akademik dan melakukan perbuatan yang termasuk kategori korupsi tersebut?

Fakta menunjukkan, dunia kerja Tanah Air masih menempatkan bukti formal capaian pendidikan melalui ijazah, terutama ijazah pendidikan tinggi. Dalam setiap proses perekrutan pegawai baru di lembaga pemerintah ataupun swasta, saringan pertama selalu soal administrasi bukti kelulusan, lengkap dengan peringkat nilai dan asal kampus.

Penjaringan tahap ini saja sudah akan menentukan apakah calon pegawai bakal dipanggil tes berikutnya atau tidak. Setali tiga uang pada sistem kenaikan pangkat dan jabatan pegawai.

Untuk naik ke jabatan lebih tinggi, syarat utama adalah tingkat pendidikan, baru seleksi kemampuan. Meski demikian, opini dari jajak pendapat ini yang 60,5 persen di antaranya pekerja di berbagai instansi pemerintah ataupun swasta cenderung meragukan pandangan tersebut.

Bagian terbesar responden meyakini, dalam bekerja, bukti formal ataupun kemampuan-keterampilan sama pentingnya (39,1 persen) dan yang menyatakan kemampuan saja yang terpenting dalam pekerjaan sebanyak 28 persen. Sementara sepertiga responden sisanya (30,4 persen) mengakui ijazah masih menjadi faktor terpenting dalam dunia kerja.

Responden berlatar belakang pekerjaan guru, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, bahkan pensiunan tampak kuat menyuarakan pendapat pentingnya ijazah. Hanya responden dari kalangan wiraswasta/usahawan yang sedikit lebih memboboti kemampuan sebagai yang terpenting.

Dalam jajak pendapat ini juga tergambar ketidaksesuaian antara pendidikan dari tingkat terakhir yang telah ditempuh dan pekerjaan yang ditekuni. Separuh responden (50,4 persen) mengaku pekerjaan yang mereka tekuni sesuai dengan pendidikan yang mereka jalani.

Namun, proporsi yang menyatakan kurang sesuai juga cukup besar, mencapai 14 persen, bahkan yang menyatakan tidak sesuai ada sepertiga bagian responden. Responden dengan pekerjaan PNS, karyawan swasta, dan guru adalah kelompok responden yang mengaku yakin dengan kesesuaian pendidikan dan pekerjaannya. Adapun kelompok wirausaha dan kalangan ibu rumah tangga menjadi kelompok yang merasa berprofesi di luar keahlian semula.

Sanksi

Lemahnya peranan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional dan kalangan dunia pendidikan sendiri (termasuk peserta didik), menurut responden adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas persoalan ini. Tudingan kepada sistem pendidikan, termasuk perekrutan dunia kerja yang berorientasi ijazah, justru hanya dituding oleh bagian kecil responden.

Artinya, persoalan ”aktor” lebih dominan daripada ”peraturan”. Bagaimanapun, perilaku mahasiswa atau peserta didik yang enggan bersusah payah belajar dan menyelesaikan tugas akhir—mudah ditebak—bakal menelurkan sikap koruptif dalam pekerjaan di kemudian hari. Tanpa pemberian sanksi berefek jera bagi pelaku tidak mungkin menghentikan anomali dunia pendidikan ini.

Menurut publik, sepatutnya diterapkan sanksi bagi penjual ataupun pengguna yang terlibat dalam praktik pembuatan tugas akhir. Bagian terbesar responden (40,6 persen) lebih menyetujui sanksi pidana ketimbang sanksi akademik atau administratif.

Sanksi akademik berupa pembatalan kelulusan juga menjadi usulan 20 persen responden. Kekhawatiran masyarakat akan kerugian yang ditimbulkan dari praktik pembuatan tugas akhir tersebut tentu dapat dimaklumi. Masyarakat mencemaskan generasi penerus yang bakal menjaga dan membangun negeri ini.

Apakah yang bisa diharapkan dari generasi muda yang pemalas, berpikir pragmatis, dan cenderung koruptif ketika menghadapi setiap tantangan pembangunan yang semakin kompleks? (Palupi Panca Astuti, Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau