Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RSBI dan Kapitalisme Pendidikan

Kompas.com - 04/10/2010, 15:42 WIB

Oleh Yudha Cahyawati

Harapan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan murah atau minimal terjangkau masih bagaikan jauh panggang dari api. Tingginya biaya pendidikan masuk sekolah SMP/SMA, terutama sekolah yang menyelenggarakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), menjadikan orangtua yang memiliki penghasilan pas-pasan "dipaksa" harus gigit jari.

Ini mengingat jika masuk RSBI, orangtua harus menyediakan uang puluhan juta rupiah. Siswa RSBI akan mendapatkan pelayanan pendidikan yang tentu saja berbeda dengan kelas regular. Tidak saja menikmati fasilitas belajar yang cukup mewah dan lengkap, tapi juga dengan pengajaran berbahasa asing (Inggris).

Di Kota Surabaya, SMP yang menyelenggarakan RSBI adalah SMPN 1, SMPN 12, dan SMPN 6. Sedangkan di tingkat SMA adalah SMAN 2, SMAN 5, dan SMAN 15. Saat ini para orangtua berbondong-bondong menuju sekolah-sekolah tersebut, dengan harapan anaknya bisa masuk kelas "khusus" tersebut, meskipun harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah untuk menopang biaya pendidikan anaknya di RSBI.

Konsekuensi dari RSBI ini, tentu saja akan melahirkan diskriminasi dan kastanisasi. Hanya anak dari orangtua yang berduit tebal yang bisa masuk ke RSBI, sementara anak dari keluarga pas-pasan apalagi miskin dipastikan akan tersingkir dari lingkaran RSBI. RSBI hanya untuk kasta tertentu saja, yakni kasta keluarga kaya. Hanya siswa dari keluarga berduit yang akan mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas, sementara siswa dari keluarga miskin dipaksa mendapatkan pendidikan pas-pasan atau ala kadarnya.

Dengan melihat kenyataan praktik dan pola rekrutmen RSBI selama ini yang cenderung berpihak pada anak orang kaya. Dengan pola semacam itu, hanya anak orang kaya alias berduit yang bisa diterima di RSBI. Sedangkan anak potensial yang orangtuanya miskin atau berpenghasilan pas-pasan harus jadi penonton atau mendapat sekolah pas-pasan. Dengan kata lain, dunia pendidikan kita (baca: RSBI) sangat begitu "ramah" dan akomodatif terhadap kaum berduit, tetapi sangat begitu kejam dan diskriminatif terhadap kaum miskin. Pendidikan seolah-olah "hanya" hak milik orang kaya, sedangkan orang miskin tidak punya hak. Kapitalisasi

Dengan sistem rekrutmen semacam itu, bukan tidak mungkin praktik KKN akan merajalela. Para orangtua yang memiliki penghasilan tinggi akan ramai-ramai memasukkan anaknya dengan memberikan sumbangan uang pendidikan yang sangat besar, meskipun dengan kemampuan kecerdasan yang pas-pasan. Dengan demikian, nantinya uang akan menjadi "penentu" lolos atau tidaknya calon siswa baru diterima. Dan kalau sudah begini, lagi-lagi hanya anak orang kaya yang bisa masuk RSBI.

Lalu apa yang bisa diharapkan dari dunia pendidikan kita? Dengan sistem semacam ini, pendidikan kita hanya akan melahirkan anak didik yang berwatak kapitalistik dan komersialistik. Ia (masyarakat didik) sudah tidak lagi menghiraukan nilai-nilai moral, etika, dan norma

karena semua itu bisa dibeli dengan uang. Sebegitu "berkuasanya" dunia materi, teringat dengan sebuah ungkapan Voltaire: "dalam perkara uang semua orang mempunyai 'agama' yang sama." Uang telah menempati bagian penting dalam dunia pendidikan yang dimainkan di balik idiologi pertumbuhan.

Nilai-nilai substansitif (baca: pencerdasan dan pencerahan) yang terkandung dalam pendidikan akan semakin luntur ditelan oleh semangat, ambisi, dan praktik (pendidikan) yang sangat kapitalistik dan konsumeristik tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com