Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Sepatu Tua

Kompas.com - 04/10/2010, 22:56 WIB

Cerpen Trisna

Setiap akhir pekan, tak banyak kegiatan yang dilakukan Anto. Menjadi asisten supir angkutan umum adalah salah satunya. Tentu bukan sembarang supir. Supir-supir itu adalah orang yang diberi kepercayaan oleh ayahnya, Pak Tedjo, sang juragan angkot. Anto sendiri sebenarnya tak perlu mencari penghasilan tambahan. Uang saku yang diterima dari kedua orangtuanya sudah lebih dari cukup untuknya, seorang pelajar yang masih duduk di bangku dua SMA. Supir-supir itu pun sebenarnya tak memerlukan asisten –atau kernet lebih tepatnya. Para penumpangnya terbiasa membayar langsung pada sang supir setiap kali mereka telah sampai di tempat tujuan. Tapi Anto bersikeras. Kadang dia duduk di muka pintu mobil, kadang dia berdiri, sambil sesekali melongok ke dalam, menagih ongkos para pengguna jasa angkutan. Sesekali dia hanya duduk layaknya penumpang. Di sebelah supir atau di belakang. Pun begitu, tak ada seorang supir yang kuasa berkata tidak. Kalian tahu kenapa.

Jika Anto mendapat bayaran atas hasil kerjanya, dia senang. Tapi bukan itu yang semata dia cari. Belajar soal kehidupan. Itu yang selalu dikatakan Anto tiap kali Pak Tedjo bertanya heran tentang hobi anak lelakinya itu. Dalam angkot, kata Anto lagi, dia selalu bisa melihat bermacam-macam orang. Adalah tak mungkin menebak karakter mereka hanya sekedar dari penampilan. Tapi, sedikit banyak, sifat mereka akan terlihat dari bagaimana mereka memerlakukan penumpang lainnya. Dari situ, dia belajar banyak soal kepedulian.

Dan kalau Anto tak sedang melakukan kegiatan itu, dia akan berjalan-jalan ke mal, pertokoan atau sekedar berkunjung ke rumah teman.

Seperti Minggu siang itu. Dia sudah beberapa jam berkeliling dalam mal di bilangan Kelapa Gading sebelum akhirnya masuk ke dalam sebuah toko kaset dan CD. Perjalanan yang awalnya hanya untuk melihat-lihat, ternyata harus berakhir dengan ketidakmampuan Anto menahan keinginan. Satu buah kaset dari album terbaru Eminem, satu buah kaset kompilasi hip-hop, plus satu buah CD album Alicia Keys, akhirnya memaksa Anto mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari dalam dompetnya. Dua kaset itu jelas untuk dirinya sendiri, sementara CD Alicia untuk sang adik, Irma, yang beberapa hari ke depan akan berulang tahun.

Keluar dari toko kaset, Anto melewati toko sepatu. Dari luar, dia bisa melihat deretan sepatu yang dipajang di etalase toko. Sebuah sepatu kets berwarna full hitam menarik perhatiannya. Dia teringat sepatu miliknya. Sepatu warna hitam satu-satunya yang selama ini selalu dipakainya ke sekolah. Seringkali dipakainya juga saat berolahraga bersama teman-temannya. Saat itu juga Anto dilema. Pada dasarnya, dia tak sekedar memiliki keinginan membeli, tapi dia punya cukup uang untuk mewujudkannya. Tapi ketika dia mengingat kembali sepatu hitam miliknya, dia merasa tak terlalu butuh sepatu baru. Kondisinya masih bagus. Masih sangat laik pakai. Apalagi dia masih memiliki dua pasang sepatu lainnya. Maka, Anto berpikir, dirinya dan sepatu di etalase toko, rupanya belum berjodoh.

Cerita akan berlanjut, masih tentang Anto. Bukan Anto dan hubungannya dengan para supir, atau Anto dan angkot-angkot kepunyaan ayahnya. Bukan juga tentang Anto dan kegiatan bersama teman-temannya, melainkan tentang Anto dan sepatu tuanya. Pada Minggu siang itu, Anto tak pernah tahu, dilema itu akan mengantarnya pada sebuah problema. Keputusannya untuk tak berjodoh dengan sepatu di etalase toko, membuat garis kehidupannya yang selama ini tampak lurus-lurus saja, akan mengalami sedikit guncangan. ***** Hari ketika guncangan itu terjadi dimulai seperti hari biasa. Pak Tedjo siap berangkat ke pasar Tanah Abang bersama istrinya, Bu Rohaya, yang biasa dipanggil Bu Aya. Selain sebagai juragan angkot, pasangan suami istri itu juga memiliki sebuah kios di pasar tersebut. Kios yang menjual berbagai macam bahan kebaya. Anto dan Irma juga siap berangkat sekolah. Keluarga itu siap melakukan aktivitas mereka masing-masing.

Dengan menaiki angkot salah satu anak buah ayahnya, Anto dan Irma berangkat sekolah. Setelah kurang lebih sepuluh menit perjalanan, tepat di perempatan jalan, kedua kakak beradik itu turun. Tak lupa mereka membayar ongkosnya. Hampir semua ‘supir’ ayahnya, biasanya menolak dibayar. Tapi Pak Tedjo selalu mengingatkan anaknya untuk tak pernah menumpang secara cuma-cuma pada mereka. Mereka sedang mencari nafkah, begitu kata Pak Tedjo. Perkataan yang selalu dituruti kedua anaknya. Pada akhirnya, para supir pun tak pernah bisa menolak.

Saat itu hari Kamis. Sejak Senin, sekolah Anto, SMA Nusa Kejora, mulai melakukan pemeriksaan cukup ketat pada para siswanya. Salah satu sekolah swasta unggulan di Jakarta itu, melihat akhir-akhir ini banyak siswa mulai melakukan banyak pelanggaran tata tertib sekolah. Terutama masalah sepatu dan seragam sekolah. Misalnya, banyak siswa yang tak memasukkan bagian bawah bajunya ke dalam rok atau celananya, atau para siswi yang memakai rok di atas lutut. Atau siswa yang memakai sepatu selain berwarna hitam dan kaos kaki selain warna putih. Untuk yang terakhir, kebanyakan pelanggarnya adalah para siswi.

Anto melewati pintu gerbang dengan santai. Ibu Retno dan Pak Puji, guru piket hari itu, tampak sibuk menahan langkah para siswa yang kedapatan terlihat ‘berbeda’. Meski sudah hari keempat pemeriksaan dan razia sepatu dilakukan, tumpukan sepatu warna-warni di samping meja guru piket, masih terlihat cukup banyak, meski tak sampai menggunung seperti hari-hari sebelumnya. Salah seorang siswi terlihat sedang melepas sepatu dan kaos kakinya yang terlihat sangat full colour. Anto mengenal gadis teman sekelasnya itu. Razia itu sudah yang kedua kali bagi Rina, nama gadis itu. Tak belajar dari pengalaman, pikir Anto sambil menahan senyumnya. Dia terus berjalan melewati meja piket dan para korban razia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com