Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahasa Asing Kerap Dipahami Keliru

Kompas.com - 12/10/2010, 14:44 WIB

Bandung, Kompas - Metode pembelajaran bahasa asing di Indonesia masih jauh dari ideal. Akibatnya, masih terjadi pemahaman dan penguasaan bahasa asing yang keliru di masyarakat. Salah satu metode yang tidak maksimal terkait dengan perbedaan tata bahasa antara bahasa Indonesia dan bahasa asing.

"Kajian tentang pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing (second language acquisition) masih terbatas dan belum begitu akrab di kalangan pengajar, pemerhati, peminat, dan pembelajar bahasa asing," kata Pembantu Dekan Fakultas Bahasa Universitas Widyatama Uning Kuraesin, Senin (11/10) di Bandung. Uning mengatakan hal ini menyambut Seminar Internasional "Penelitian Pemerolehan Bahasa Kedua" di Universitas Widyatama, 20-21 Oktober.

Ia menuturkan, karena menerima metode yang kurang benar dalam proses belajar bahasa asing, banyak yang memasukkan konsep tata bahasa Indonesia ke bahasa asing yang ditekuni. Padahal, tata bahasa atau tutur kata bahasa asing sering berbeda dengan bahasa Indonesia.

Ia mengambil contoh perbandingan antara bahasa Jepang dengan bahasa Indonesia dalam frasa baju merah. Jika struktur yang benar dalam bahasa Indonesia adalah baju merah, dalam bahasa Jepang strukturnya menjadi merah baju. Hal ini kerap luput dalam metode pembelajaran bahasa asing.

Ia berpendapat, bila terus dibiarkan, hal ini dikhawatirkan memengaruhi komunikasi antarnegara. Bahasa asing orang Indonesia sering kali salah dan tidak dimengerti. "Kekeliruan ini juga sering ditemui dalam naskah terjemahan. Bukannya menjadi jelas, justru bertambah bingung," katanya.

Oleh karena itu, Uning berharap konferensi bahasa bisa menjadi tempat mencari solusi tentang metode belajar yang tepat. Harapannya, masyarakat belajar bahasa dengan cara tepat. "Dalam seminar nanti kami akan menampilkan pakar bahasa dari Jepang, seperti Fujiwara Masanori dari Kinjo Gakuin University, dan Chaedar Alwasilah dari Universitas Pendidikan Indonesia. Pesertanya, selain Indonesia, juga dari Malaysia dan Singapura," katanya.

Bahasa daerah

Kasus serupa banyak ditemui dalam pembelajaran bahasa daerah. Sekretaris Yayasan Rancage Hawe Setiawan mengatakan, banyak metode pembelajaran bahasa daerah keliru karena problem kualitas pengajar di sekolah. Akibatnya, minat siswa belajar bahasa daerah berkurang. Ujungnya, bahasa daerah dianggap pelajaran sulit dan tidak menyenangkan.

Hawe menjelaskan, di Jawa Barat tidak sedikit pengajar bahasa daerah bukan lulusan jurusan pendidikan bahasa daerah. Biasanya, karena keterbatasan sumber daya manusia, sekolah mencomot guru mata pelajaran lain. Syaratnya, bisa berbahasa daerah atau sekadar dapat memainkan alat musik tradisional.

Menurut dia, hal itu keliru. Harus ada konsep dan metode penyampaian yang tepat saat mengajarkan bahasa daerah. Bila sekadar mengajar lewat buku, siswa akan kesulitan menangkap materi pelajaran.

"Ada banyak hal yang tidak cukup diajarkan lewat buku atau tugas tulisan. Contohnya, pelajaran asramandana atau pupuh sangat baik bila disajikan dengan menyanyi atau memainkan alat musik. Selain lebih menyenangkan, metode seperti itu kerap lebih mudah diterima siswa," kata Hawe. (CHE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com