Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Pemburu Belajar Tanam dan Beternak

Kompas.com - 27/10/2010, 11:47 WIB

KOMPAS.com - Sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) I Sota, Kabupaten Merauke, Papua, belajar beternak ayam, Sabtu (16/10/2010). Sebanyak 128 siswa dari Papua dan Papua Niugini menempuh pendidikan pertanian dan peternakan di sekolah yang berlokasi hanya dua kilometer dari perbatasan Indonesia dan Papua Niugini itu.

Secercah harapan bagi anak-anak di perbatasan Indonesia-Papua Niugini. Ungkapan itu agaknya tepat dialamatkan pada Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.

Berdiri enam tahun lalu, sekolah yang terletak 80 kilometer sebelah selatan Kabupaten Merauke itu mengajari anak-anak di wilayah perbatasan RI-Papua Niugini (PNG) tata cara bertani dan beternak. Selain mencerminkan interaksi dua bangsa serumpun dalam satu atap pembelajaran, kecakapan yang dibekalkan kepada peserta didik juga relevan dengan upaya transformasi sosial-ekonomi.

Misi pendidikan ini antara lain mengubah pola hidup berburu dan meramu ke pola hidup bercocok tanam. Untuk mengenyam pendidikan itu, bukan tanpa hambatan. Anak-anak harus berjalan kaki atau naik sepeda sejauh belasan kilometer.

Urbu Yei Give (20), warga Heweh, PNG, misalnya, harus mengayuh sepeda berpuluh kilometer menembus hutan setiap hari untuk ke sekolah ini. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Sota menjadi satu-satunya pilihan untuk mengenyam pendidikan karena sekolah setingkat SMK di PNG lebih jauh jaraknya dibandingkan dari Heweh ke Sota. Materi pelajaran sekolah juga relevan dengan konteks transformasi sosial-ekonomi setempat.

”Guru-guru kami mengajari cara bertani dan beternak. Kelak, setelah lulus sekolah, kami bisa menanam sayuran atau menjadi peternak ayam, tidak perlu lagi pergi berburu ke hutan,” kata Urbu.

Pihak sekolah mengapresiasi kemauan Urbu sehingga dia tidak dibebani biaya sekolah. Dia dan teman sekampungnya diizinkan tinggal di asrama sekolah bersama siswa lain.

Minimnya kemampuan berbahasa Indonesia memang menjadi kendala komunikasi. Namun, hal itu diatasi guru dengan mengandalkan bahasa tubuh dan bahasa isyarat. Lambat laun, anak-anak dari kabupaten lain yang berbatasan dengan PNG pun tertarik ikut belajar.

Misalnya, Boven Digoel. Sebelum sekolah ini didirikan, kebanyakan anak-anak di wilayah perbatasan tidak melanjutkan sekolah. Lokasi sekolah setingkat SMA hanya ada di pusat Kabupaten Merauke, sekitar dua jam perjalanan dari Sota. Sekolah ini boleh dibilang menjadi tempat anak Papua mengenal ”dunia baru”. Mereka yang terbiasa memanfaatkan hasil alam atau berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup, di sini belajar mengenal cara bercocok tanam dan beternak.

Pelajaran ini tak hanya diberikan oleh guru yang berasal dari luar Merauke, seperti Sulawesi, Maluku, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur, tetapi juga anak-anak transmigran. Siswa yang umumnya berasal dari Pulau Jawa ini telah mengenal cara bercocok tanam dari orang- tua mereka. Guru pertanian pun memercayakan anak-anak transmigran untuk memberi contoh kepada anak warga lokal cara mencangkul tanah.

”Suasana kekeluargaan yang tumbuh ikut menyemangati penularan kecakapan budidaya tanaman dan unggas pada teman-teman asli Papua,” kata Agus Syaparudin (16), anak keluarga transmigran asal Banten. Bagi Alfred Aris Ndiken (18), murid asal Sota, ”dunia baru” itu penting dipelajari mengingat apa yang biasa dimanfaatkan warga asli Merauke dari alam semakin terbatas.

”Sagu sudah sulit dicari, begitu pula dengan rusa. Pertanian dan peternakan bisa menjadi jawaban,” ujarnya.

Para siswa telah memetik hasil praktik menanam sayur-sayuran dan beternak ayam di sekolah. Sayuran telah dipanen beberapa kali, ayam yang diternak pun sering dijual. Siswa mendapat upah Rp 1.000 untuk setiap ayam yang dijual Rp 30.000 per ekor. Keuntungan penjualan ayam masuk ke kas untuk membiayai perjalanan siswa belajar ke sejumlah kawasan pertanian di Merauke.

Itikad baik dari sekolah mengundang partisipasi warga. Suku Canume, salah satu komunitas yang mendiami Distrik Sota, bersedia menjual lahan seluas 10 hektar milik mereka dengan harga Rp 25 juta. Mereka bersinergi dengan warga transmigran. Minat bersekolah anak-anak perbatasan terus meningkat dari tahun ke tahun. Semula siswa berjumlah 12 orang. Kini, menjadi 128 orang.

Kepala Sekolah SMK Negeri I Sota Kalfin Saya menggambarkan pembauran budaya antarbangsa itu dengan istilah ”istana damai”. Istana tempat anak-anak dari berbagai suku, agama, dan ras, mengenyam pendidikan satu atap. (A PONCO ANGGORO/ASWIN RIZAL HARAHAP)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com