Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tunjangan Guru Terganjal Birokrasi

Kompas.com - 30/10/2010, 03:31 WIB

Jakarta, Kompas - Peningkatan kesejahteraan guru dengan pemberian tunjangan profesi masih terhambat berbagai urusan birokrasi di pusat dan daerah. Akibat ketidaksiapan birokrasi ini, para guru sering terlambat menerima hak mereka dan kalaupun menerima jumlahnya tidak utuh.

Baedhowi, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), di Jakarta, Jumat (29/10), mengatakan, dana untuk tunjangan sertifikasi dan tambahan penghasilan guru mulai tahun ini langsung ditransfer ke pemerintah kabupaten/kota yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan.

”Kementerian Pendidikan Nasional yang menyediakan data para guru yang berhak menerima,” kata Baedhowi.

Persoalan birokrasi itu, antara lain, ada revisi peraturan menteri keuangan yang awalnya meminta syarat yang sangat rinci dari para guru yang berhak menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Padahal, Kemendiknas telah melaksanakan proses uji sertifikasi dan memberikan surat keputusan guru profesional kepada para guru itu.

”Jadinya dua kali kerja dan ini yang memperlambat pencairan dana. Namun, persoalan ini sekarang sudah diselesaikan,” kata Baedhowi.

Pembayaran tunjangan profesi bagi guru pegawai negeri sipil (PNS) dan swasta ataupun tambahan penghasilan sebesar Rp 250.000 per bulan khusus guru PNS belum bisa dilakukan setiap bulan bersamaan dengan gaji. Persoalan ini akibat ketidaksiapan pemerintah pusat menyediakan payung hukum.

 Menurut Baedhowi, pembayaran tunjangan kesejahteraan untuk guru itu pada saat ini dibayarkan setiap enam bulan sekali. Tunjangan itu seharusnya langsung ditransfer ke rekening guru tanpa ada pemotongan, kecuali untuk pajak sebesar 15 persen.

Sementara di daerah, ada sejumlah pihak yang mengganjal pembayaran tunjangan itu kepada guru. Dana pusat yang ditransfer ke kota/kabupaten itu masuk ke dalam APBD.

Pembahasan APBD yang panjang mengakibatkan pengesahan jadi molor. Akibatnya, anggaran untuk tunjangan guru yang masuk ke APBD itu tidak bisa dicairkan. ”Ini masih transisi. Jadi, masih dicari cara supaya sistem pembayaran lebih mudah. Pengawasan juga akan dijalankan,” ujar Baedhowi.

Ade Irawan, Sekretaris Jenderal Koalisi Pendidikan, mengatakan, keharusan pemerintah membayarkan berbagai tunjangan kesejahteraan bagi para guru itu sudah diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen sekitar lima tahun lalu. ”Sangat tidak masuk akal kalau pemerintah berkilah tidak siap dengan payung hukum atau desain cara pembayaran yang efektif. Kondisi seperti ini semakin menunjukkan, birokrasi kita memang tidak juga profesional,” kata Ade.

Retno Listyarti, Ketua Forum Musyawarah Guru Jakarta, mengatakan, para guru mencurigai anggaran untuk guru tersebut dikorupsi birokrat. Pasalnya, banyak guru yang berhak ternyata tidak menerima, padahal alokasinya ada di APBD.

”Komisi Pemberantasan Korupsi semestinya turun tangan. Dana yang dikorupsi mencapai miliaran rupiah. Untuk apa KPK dan Kemendiknas kerja sama dalam pendidikan antikorupsi di sekolah kalau dana milik guru juga dikorupsi,” ujar Retno.(ELN)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com