Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlu Pendidikan Bencana untuk Masyarakat di Sekitar Gunung Merapi

Kompas.com - 30/10/2010, 14:47 WIB

SEMARANG, KOMPAS - Pendidikan bencana untuk masyarakat desa yang tinggal di sekitar Gunung Merapi diperlukan untuk memahami bahaya dan gejala awal letusan Merapi. Dengan begitu, korban jiwa akibat letusan dapat terhindarkan dan dampak bencana dapat diminimalkan.

Pakar fisika bumi dari Universitas Negeri Semarang, Supriadi Rustad, Jumat (29/10), mengatakan, persoalan yang selama ini muncul adalah masyarakat belum paham sepenuhnya terhadap status aktivitas Gunung Merapi yang berbahaya bagi mereka. Untuk itu, diperlukan pendidikan untuk menciptakan masyarakat yang sadar bencana.

Pendidikan bencana ini, kata Supriadi, dapat ditanamkan kepada generasi muda melalui program pendidikan di sekolah ataupun kepada masyarakat secara luas dengan melakukan simulasi tanggap darurat bencana secara berkala. "Ini untuk mewujudkan masyarakat yang sadar bencana," ujar Supriadi.

Menurut Supriadi, data yang dikeluarkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) semestinya dapat menjadi acuan bagi masyarakat untuk bertindak.

"Tidak ada yang tahu ada erupsi lagi atau tidak di Merapi, kecuali data dari BPPTK. Sudah saatnya masyarakat mempercayai data bukan dari ramalan," kata Supriadi.

Supriadi mengatakan, Gunung Merapi memiliki tipe erupsi yang khas dan berbeda dari gunung lainnya. Biasanya, letusan ditandai dengan guguran lava pijar dan keluarnya awan panas yang biasa disebut dengan "wedhus gembel". Hanya saja, awan panas Merapi ini biasanya turun ke lereng, berbeda dengan tipe letusan Kelud yang memancarkan awan panas ke atas.

Supriadi mengapresiasi kinerja pemerintah dalam hal ini BPPTK yang mampu memprediksi gejala letusan dengan baik. Informasi akurat

Untuk menghindari bahaya erupsi Gunung Merapi, pemerintah diharapkan memberikan informasi geologi yang akurat menyangkut aktivitas vulkanik kepada masyarakat di sekitar kawasan Gunung Merapi.

"Dengan cara ini, mereka pun akhirnya tidak lagi terpaku meyakini tanda bahaya erupsi dengan mengandalkan 'ilmu titen' yang kadang justru meleset dari kenyataan," kata Sitras Anjilin, tokoh seniman dari Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Terbukti, katanya, tanda-tanda erupsi Merapi pada Selasa lalu berbeda dengan biasanya.

Camat Srumbung Agus Purgunanto meminta agar masyarakat tidak lagi berspekulasi mengandalkan insting atau prediksi berdasarkan "ilmu titen". Bahkan, dia pun menegaskan bahwa sebagian tanda-tanda alam seperti hewan yang turun gunung menjelang erupsi, tidak lagi dapat dijadikan acuan.

"Turunnya hewan dari gunung tidak lagi dapat menjadi acuan karena populasi hewan di hutan di atas gunung sendiri, sudah sangat langka, bahkan nyaris punah," ujarnya. (ILO/EGI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com