YOGYAKARTA, KOMPAS -
Faqih Fathurachman (13) di pengungsian Gedung Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta sudah dua hari mengikuti sekolah darurat di Gedung Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Yogyakarta.
Pelajar kelas III SMP Negeri 3 Pakem, Sleman, itu mengaku khawatir tidak siap menghadapi ujian nasional (UN) bila sekolahnya berhenti terlalu lama.
”Saya takut kalau kelamaan tidak sekolah, saya tidak bisa lulus,” kata Faqih di GOR UNY, Sleman, Senin (15/11).
Sejak 5 November, sebanyak 224 sekolah yang berada dalam zona tidak aman Merapi 20 kilometer dari puncak Merapi berhenti beroperasi. Sebanyak 33.217 pelajar terhenti kegiatan belajar mengajarnya di sekolah.
Menurut Faqih, sekolah darurat di gedung P4TK Yogyakarta diikuti pelajar SMP dari berbagai pengungsian. Adapun kelas III diikuti 38 murid dengan pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Proses belajar mengajar diampu guru-guru SMP Kabupaten Sleman yang sekolahnya terhenti.
Dari pengungsian di GOR UNY, para pelajar sekolah darurat itu diantar-jemput bus khusus. Sebagian besar dari pelajar berangkat sekolah dengan pakaian bebas. Mereka tidak membawa alat tulis.
”Semua keperluan sekolah masih di rumah, tidak sempat dibawa saat berangkat mengungsi dulu,” kata Suhartono (14), pengungsi dari Dusun Randu, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman.
Selain itu, beberapa SMP dan SMA di Kota Yogyakarta mulai menerima murid-murid yang menumpang. Beberapa sekolah yang menjalin kerja sama dengan sekolah di Sleman berhenti karena erupsi Merapi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Budi Asrori mengatakan, jumlah pengungsi yang menumpang diperkirakan sekitar 50 pelajar. ”Namun, jumlah itu mungkin bisa lebih banyak karena mereka tidak wajib lapor,” katanya.
Menurut Budi, murid-murid pengungsi diberi kemudahan untuk menumpang sekolah di Kota Yogyakarta. Selain tak perlu melalui proses birokrasi, para