Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Menulis

Kompas.com - 09/12/2010, 08:48 WIB

Oleh NANANG YUNAN SUROSO

Pada Desember ini ada dua peristiwa yang sangat menarik dan penting bagi upaya membangun profesionalisme guru dan kualitas pendidikan nasional. Pertama, peringatan Tahun Baru 1432 Hijriah yang jatuh pada Selasa (7/12). Hijrah adalah peristiwa berpindahnya Rasulullah SAW beserta sahabatnya dari Mekkah menuju Madinah untuk membangun kehidupan berlandaskan tauhid yang lebih baik. Peristiwa yang dilandasi niat ikhlas dan penuh pengorbanan ini dimaknai sebagai perpindahan atau perubahan untuk mencapai kemuliaan dan kehidupan yang lebih berkualitas.

Peristiwa kedua, seminar dengan tema ”Guru Menulis di Media Massa” yang diselenggarakan pada Kamis (9/12). Seminar dalam rangka Hari Guru Nasional dan HUT ke-65 PGRI yang terselenggara atas kerja sama pengurus PGRI Jawa Barat, Dinas Pendidikan Provinsi Jabar, dan harian Kompas ini bertujuan membangun kesadaran reformis dan kreatif guru dalam menulis atau menuangkan ide-ide kreatif dan inovatifnya. Selain itu, menumbuhkan budaya menulis atau meneliti sebagai episentrum peningkatan kualitas pembelajaran dan pendidikan.

Pertanyaan korelatifnya, dapatkah kompetensi menulis menjadi simpul profesionalisme guru dan menghijrahkan guru sehingga berkontribusi konstruktif bagi peningkatan kualitas pendidikan?

Membangun guru profesional tidak semudah membalik telapak tangan. Membangun guru profesional diwujudkan melalui proses terintegrasi yang memakan waktu, pikiran, tenaga, dan anggaran yang tidak sedikit. Program sertifikasi guru yang bertujuan meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan guru dihadapkan pada sulitnya mengubah karakter guru. Sertifikasi guru melalui portofolio serta pendidikan dan latihan profesi guru dinilai belum bisa meningkatkan kualitas dan performa guru.

Stagnasi kualitas guru tampak pada peningkatkan jenjang karier. Saat ini jumlah guru golongan IV/b hanya 0,087 persen, golongan IV/c 0,007 persen, dan IV/d 0,002 persen. Kebanyakan guru, yaitu 569.611 orang atau 21,84 persen, stagnan di golongan IV/a. Menteri Pendidikan Nasional mengatakan, ”Banyak guru tidak bisa naik ke golongan IV/b karena tidak mampu menulis karya ilmiah (Kompas, 1/11).”

Profesionalisme guru yang dibangun di atas fondasi kompetensi akademik, kepribadian, sosial, dan pedagogis membutuhkan kompetensi menulis dan belajar menulis guna membangun kualitas diri sehingga mampu meningkatkan performa keempat kompetensinya.

Introspeksi diri

Dengan menulis, guru mampu berpikir reflektif dan berintrospeksi diri melihat kekuatan dan kelemahannya. Guru bisa becermin pada apa yang telah di- ajarkan, dipikirkan, diteliti, dan dituliskan. Semakin jernih dan bernas ide-ide kreatif yang ditulis, semakin jelas guru mampu melihat kesejatian dirinya. Kerancuan yang tampak dalam tulisan guru menunjukkan bahwa guru perlu belajar menulis, lebih peduli pada bahasa Indonesia, dan konsisten mengasah kete- rampilan memamah nalarnya.

Menulis buku, novel, cerpen, karya ilmiah, ataupun artikel adalah sebuah gunung dalam kehidupan penulis, yang harus didaki selangkah demi selangkah. Fokus pada apa yang akan dilakukan adalah langkah terbaik untuk mendaki gunung. Target atau puncak gunung akan membuat kita tahu yang perlu dipersiapkan dan dilakukan.

Bola pingpong dalam gelas bisa naik ke permukaan dengan memasukkan air sesendok demi sesendok. Menulis adalah air bagi peningkatan kualitas guru. Dengan menulis, guru mampu melihat kekurangan dan kelebihan yang berhubungan dengan kompetensi yang mendukung profesionalisme guru. Kesadaran reformis yang lahir dari berpikir reflektif membuka mata hati guru untuk memilih langkah atau tindakan yang konstruktif dan kreatif bagi perubahan kualitas dan kinerjanya.

Penumpukan guru pada golongan IV/a merupakan bottle neck dalam peningkatan karier guru. Kendala utamanya adalah lemahnya kemampuan guru menulis atau membuat karya tulis ilmiah. Selama ini guru terjebak pada rutinitas mengajar sehingga melupakan perlunya membangun tradisi meneliti dan menulis.

Sebenarnya, di sekolah guru berpeluang menulis sesuatu yang layak dibaca atau dijual dan mengalami atau mengajarkan sesuatu yang layak diteliti dan ditulis. Jika hideng dan keyeng tur pareng, guru bisa meramu kembali soal berapa siklus tahun pembelajaran menjadi buku Sukses dengan Memamah Soal, yang layak terbit, jual, dan dibanggakan.

Pengalaman mengajar bertahun-tahun bisa dijadikan karya monumental berupa buku pelajaran. Kesulitan belajar siswa atau problematik yang muncul dalam interaksi sehari-hari bisa menjadi pemicu (trigger) bagi guru untuk mencari solusinya dengan menelaah literatur, mendiskusikan, meneliti, dan menuliskannya dalam wujud penelitian tindakan kelas (class action research).

Mengajar dan menulis akan terasa mudah dan menyenangkan jika melibatkan hati dan emosi yang hidup serta menghidupkan pikiran yang imajinatif dan kreatif. Jika kita bisa menikmati proses mengajar, seharusnya kita juga bisa menikmati proses menulis.

Tulisan sebagai pengembangan ide dan laporan hasil penelitian harus diedit dengan sentuhan seni agar sedap dipandang mata dan renyah dikunyah nalar. Selain pemahaman tata bahasa, suasana hati (mood) pun memengaruhi rasa pengolahan resep sebuah tulisan.

Kontinuitas dan konsistensi

Mengembangkan ide dan membudayakan pembangunan keunggulan guru melalui aktivitas menulis karya ilmiah atau inspiratif harus menjadi sebuah habitus, pembiasaan. Hernowo, penulis buku Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Membuat Buku, meyakinkan kita bahwa mengikat makna dan membangun karakter dengan menulis membutuhkan kontinuitas dan konsistensi.

Menurut Gary P Scott, penulis Everest in Your Life, apa yang ingin kita capai atau kita ingin menjadi apa merupakan gunung yang harus didaki dalam kehidupan ini. Ketika sudah sampai di puncak gunung, pendaki hanya beberapa saat menikmati kesuksesannya. Hal yang lebih penting adalah selama mendaki dia telah belajar apa. Dalam meraih golongan yang lebih tinggi pun, hal yang lebih penting adalah guru mampu belajar apa. Belajar dengan tertatih-tatih, prihatin, dan selalu memelihara kejujuran dalam mendaki gunung kepangkatan atau derajat hidup yang lebih tinggi merupakan nilai-nilai keteladanan yang membangun martabat guru.

Mencapai golongan yang lebih tinggi hanyalah kebanggaan sesaat dan akan menjadi aib jika dicapai dengan jalan yang tidak jujur. Menulis adalah belajar segala sesuatu. Guru yang unggul dan reformis dengan aktif menulis karya ilmiah atau inspiratif diharapkan berdampak konstruktif bagi peningkatan profesionalisme guru, pembelajaran kreatif untuk menelurkan siswa unggul, dan perwujudan negara bermartabat.

Selamat berpikir reflektif dengan meneliti dan menulis. Semoga hidup menjadi lebih sejahtera dan bermartabat. Marilah menulis dengan jujur setiap hari meski hanya sebuah kalimat sederhana.

NANANG YUNAN SUROSO  Guru Bahasa Jepang SMAN 7 Kota Cirebon; Simpatisan Asosiasi Guru Penulis

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com