Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan kecil Hari Nusantara

Kompas.com - 15/12/2010, 01:09 WIB

Oleh Siswanto Rusdi *)

Hari Nusantara yang diperingati setiap 13 Desember dinyatakan sebagai hari besar (non-libur) pada 2001 dalam masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri. Dipilihnya tanggal tersebut sebagai Hari Nusantara merujuk kepada deklarasi yang dinyatakan oleh Perdana Menteri Djuanda pada 13 Desember 1957.

Secara ringkas, Deklarasi Djuanda berisi pernyataan bahwa perairan antar-pulau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari RI dan karenanya Indonesia berhak penuh atasnya.

Pada masa itu pernyataan Djuanda sangat luar biasa karena anggapan umum yang berlaku sejak lama menyatakan bahwa laut teritori satu negara hanya sejauh 12 mil dari garis pantainya atau sejauh tembakan meriam. Lewat dari jarak itu sudah merupakan perairan internasional. Pada 1982 pemikiran Djuanda diterima oleh kalangan internasional dan diundangkan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Jadi, raision d'etre Hari Nusantara adalah pengakuan bahwa Indonesia merupakan negeri bahari. Atau, mengutip semboyan TNI AL, Jalesveva Jayamahe, justru di laut kita jaya.

Kenyataan pahit
Kendati demikian, kenyataan yang ada menunjukkan jangankan mencapai kejayaan di laut yang ada malah laut ditinggalkan. Karena menyadarkan kita akan kenyataan tersebut peringatan Hari Nusantara patut dihargai keberadaannya.

Ia menjadi obat untuk amnesia massal yang kita alami. Ia seolah berkata, hai anak bangsa, lihatlah ke laut dan kembalilah ke sana. Di sanalah terletak kejayaan Indonesia.

Amnesia yang dialami begitu parahnya sehingga tidak ada satupun bidang yang terkait dengan laut bisa dibanggakan. Contohnya, hingga hari ini kita tidak punya satupun pelabuhan laut yang betul-betul berkelas dunia seperti PSA Singapura atau Tanjung Pelepas, Malaysia. Tanjung Priok, yang merupakan pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia, tidak pernah bisa bebas dari kemacetan manakala tiba waktu closing pemuatan barang ke atas kapal.

Contoh lain, sampai sekarang kita tidak punya perusahaan pelayaran nasional yang bisa disejajarkan dengan Neptune Orient Line (NOL)-nya Singapura. Djakarta Lloyd, yang disebut-sebut sebagai flag carrier (mungkin pertimbangannya karena perusahaan ini merupakan BUMN) ternyata hanya memiliki beberapa gelintir kapal pengangkut petikemas. Itupun bertonase kecil. Malah kini sedang terancam bangkrut

Jangan lupa, di negara kepulauan terbesar di dunia ini sampai sekarang sektor perbankannya masih menganggap bisnis maritim, khususnya pelayaran, sebagai bidang usaha yang beresiko tinggi. Sehingga, mereka mengenakan tingkat suku bunga yang sangat tinggi, lebih dari 10 persen. Padahal, di negeri jiran Malaysia dan Singapura suku bunga untuk kalangan pelayaran berkisar antara 7-8 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com