Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmuwan Minus Penelitian

Kompas.com - 20/12/2010, 02:59 WIB

SAIFUR ROHMAN

Survei SCImago melaporkan, publikasi hasil penelitian Indonesia selama 13 tahun (1996-2008) adalah 9.194 tulisan. Angka itu menempatkan negeri ini di urutan ke-64 dari 234 negara yang disurvei. Dibanding negara tetangga, Singapura berada pada peringkat ke-31, Thailand ke-42, dan Malaysia 48.

Data itu tidak signifikan dengan jumlah peneliti di perguruan tinggi yang mencapai 89.022 orang. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, peneliti berpendidikan magister mencapai 71.489 orang, doktor 13.033 orang, dan guru besar 4.500 orang. Jika mengacu data SCImago, berarti dalam rentang lebih dari 10 tahun hanya ada satu dari 10 dosen yang menerbitkan hasil penelitian. Jika interval dipersempit dalam rentang satu tahun, jelas persentase itu sepuluh kali lebih sedikit.

Kenapa jumlah peneliti tidak berbanding lurus dengan hasil penelitian? Apa yang sesungguhnya terjadi dalam kinerja para ilmuwan kita 

Ilmuwan tanpa tradisi

Bila mengacu kerangka dasar filsafat ilmu, secara singkat dapat dikatakan pengembangan konsepsi, hipotesis, serta proposisi harus beranjak dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Ilmu diperbarui dengan penelitian. Kendati tradisi penelitian tidak hanya dikembangkan untuk kebutuhan ilmiah, penelitian harus beranjak dari tradisi ilmiah yang diakui, koheren, dan korespondensial.

Dalam sistem sosial, institusi pendidikan merupakan pemangku kepentingan terdepan untuk menjaga tradisi ilmiah. Idealnya, perguruan tinggi adalah pemasok ilmu pengetahuan melalui penelitian di bidang ilmu alam, sosial, dan humaniora. Penelitian merupakan produk dari institusi pendidikan agar sebuah institusi memiliki daya saing tinggi.

Masyarakat adalah pengguna produk yang dihasilkan oleh pendidikan tinggi. Dalam skema distribusi di atas, sebuah perguruan tinggi memiliki tujuan menghasilkan temuan-temuan ilmiah berkualitas. Idealitas itu pernah dirumuskan dengan tiga fungsi tenaga pengajar di institusi pendidikan, yakni penelitian, pengajaran, dan pengabdian.

Kenyataannya, diakui atau tidak, universitas tidak lebih sebagai sebuah mesin penghasil ijazah dan legalisir. Ijazah palsu dan pemberian gelar akademik secara instan adalah contoh ekstrem dari permintaan masyarakat dan penawaran para pedagang gelar. Pendeknya, masyarakat hanya butuh ijazah yang setinggi-tingginya dengan biaya yang serendah-rendahnya. Karena itu, dalam satu dekade terakhir di Indonesia, sivitas akademika tengah berada dalam iklim sosial ekonomi yang tak menguntungkan untuk aktivitas penelitian.

Di tengah persaingan bebas pendidikan tinggi, para dosen hanya memiliki prioritas menghasilkan nilai dari proses belajar-mengajar. Kiranya tak sulit ditemui di sejumlah perguruan tinggi rasio dosen dan mahasiswa tidak masuk akal. Pertambahan mahasiswa tidak diimbangi pertambahan tenaga pengajar. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com