Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berislam dengan Santun

Kompas.com - 22/12/2010, 05:50 WIB

 Komaruddin Hidayat

Sosok dan pemikiran Nurcholish Madjid (1939-2005) sulit dihapus dari ingatan intelektual Islam Indonesia kontemporer. Bersama Abdurrahman Wahid, keduanya meletakkan fondasi pemikiran keagamaan dan ke-Indonesia-an yang inklusif dan visioner. Mereka mempertegas integrasi Islam, demokrasi, dan negara kebangsaan baik dalam tataran epistemologis maupun dalam praksis-politik.

Yang sering mengemuka, setiap menyebut Cak Nur, demikian dia disapa, selalu dikaitkan dengan gagasan kontroversialnya, baik dalam bidang politik maupun keagamaan. Sering kali saya mendengarkan kritik dan caci maki terhadap pemikiran Cak Nur tentang keagamaan. Akan tetapi, setelah saya berdialog baik-baik, ternyata pemahamannya sepotong-sepotong. Itu pun disertai prasangka negatif. Kesimpulan saya, Cak Nur memang banyak disalahpahami.

Lewat buku ini, dan sekian banyak buku lainnya yang menghimpun pemikiran Cak Nur, pembaca bisa lebih dingin dan mudah mengapresiasi atau mengkritik karena yang bersangkutan telah tiada. Gagasannya mempunyai kaki dan sayap. Dia akan menjelaskan kepada siapa saja yang dijumpai serta akan membela dirinya sendiri di hadapan penghujatnya.

Paradigma pemikiran

Dalam pengantarnya, Yudi Latif sangat artikulatif menjelaskan gagasan-gagasan besar Cak Nur, terutama tentang paham ”sekularisme”, ”sekularisasi”, dan ”modernisasi” yang menjadi obyek polemik dan sekaligus mengentakkan pemikiran umat pada dekade 80-an dan bahkan sampai sekarang. Sebagai sesama alumni pesantren Gontor Ponorogo yang kemudian meraih doktor ilmu sosial-politik di Australia, Yudi cukup fasih menjelaskan geneologi pemikiran paradigmatik Cak Nur.

Secara akademis-intelektual, ada empat kualitas yang dimiliki Cak Nur, yang jarang dimiliki teman seangkatannya. Pertama, dia menguasai khazanah klasik pemikiran Islam. Dia memiliki perangkat intelektual yang kuat untuk mempelajari apa yang disebut ’kitab kuning’. Kedua, Cak Nur mempelajari teori-teori sosial dan metodologi riset sehingga kritis dalam memahami teks dan konteks sosial-historis sebuah doktrin agama. Ketiga, dia adalah juga seorang aktivis organisasi sosial sehingga pemikirannya selalu mempertimbangkan dampak strategis bagi perubahan sosial. Keempat, Cak Nur adalah penulis yang baik dan produktif sehingga memudahkan bagi mereka yang pro atau kontra untuk melakukan klarifikasi.

Pada dekade 80-an aktivis-intelektual dan intelektual-aktivis yang datang dari dunia pesantren memang masih langka. Cak Nur tampil menonjol sendirian. Kata teman-teman dekatnya, sungkan membantah Cak Nur karena bacaannya paling lengkap dibanding teman seangkatannya. Orangnya santun dan pribadinya bersih. Untuk konteks hari ini, beberapa topik yang dilontarkan Cak Nur waktu itu tidak lagi dianggap kontroversial. Apa yang dulu membuat terkaget-kaget, sekarang sudah banyak yang memahami, menerima dan mendukungnya secara kritis berkat terjadinya mobilitas intelektual anak-anak santri sehingga mampu mengakses kepustakaan Islam klasik ataupun ilmu-ilmu sosial modern. Konsep semacam inklusifisme, pluralisme, sekularisasi, toleransi, demokrasi sekarang merupakan topik seminar di kalangan akademisi yang didekati secara kritis dan serius.

Buku ini memperlihatkan bahwa kekuatan pemikiran Cak Nur terletak pada kemampuannya menggali spirit Islam lalu memformulasikan ke dalam kaidah-kaidah ilmu sosial kontemporer untuk ikut memecahkan masalah yang muncul pada zamannya. Salah satu terobosan yang historis adalah ketika Cak Nur melemparkan gagasan: ”Islam-Yes, Partai Islam-No” untuk melelehkan kebekuan sakralisasi partai Islam yang membuat Islam terkurung atau terpenjara oleh rumah partai yang sempit dan pengab. Padahal, banyak umat Islam yang merasa tidak nyaman untuk bergabung ke partai Islam yang ada waktu itu.

Meski waktu itu Cak Nur dihujat dan dicaci, ternyata apa yang dia gagas memperoleh pembenaran di kemudian hari. Bahkan, PKS dan PAN yang jelas-jelas semula mengusung ideologi ke-Islam-an, sekarang menyatakan diri sebagai partai terbuka. Jadi, untuk membaca pikiran Cak Nur mesti meli- hat teks, konteks dan argumentasinya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com