Oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro
KOMPAS.com - Persoalan yang dihadapi bangsa ini dari hari ke hari makin banyak tanpa ada titik terang penyelesaiannya. Semua lini kehidupan mengalami persoalan dan cobaan yang tak habis-habisnya, bahkan makin parah.
Sektor keuangan, pendidikan, transportasi, olahraga, politik, tata kelola, kehakiman, hukum, peraturan perundangan, perindustrian, kejaksaan, kepolisian, perbankan, dan banyak sektor lain telah didera persoalan yang sangat mendasar: terjadi penyalahgunaan atau kesalahan fungsi dan kewenangan. Akibatnya, semua kebijakan yang ditempuh tak propublik, tetapi justru menyulitkan dan membebani serta menyengsarakan warga.
Mari kita perhatikan sekitar kita. Makin banyak orang yang jatuh miskin atau makin miskin. Dalam percaturan dunia, negara kita semakin tak diperhitungkan di antara negara-negara yang kompetitif. Kita masih diperhitungkan hanya karena memiliki jumlah penduduk besar dan sumber daya alam berlimpah.
Kenyataannya, jumlah penduduk yang besar dan sumber daya alam yang melimpah belum dapat memberi nilai tambah serta jaminan bagi kemajuan dan pertumbuhan Indonesia. Ada alasan yang sangat mendasar mengapa semua ini terjadi di Indonesia: karakter bangsa yang lemah. Tak kukuh mempertahankan prinsip kebenaran yang hakiki. Jangan-jangan nilai kebenaran yang hakiki sekalipun tak dimiliki bangsa ini. Padahal, bangsa yang maju adalah bangsa berkarakter dengan masyarakat berkarakter kuat.
Karakter dan kepribadian yang kuat ditunjukkan melalui sikap tertib aturan, mandiri, dan mendahulukan kepentingan khalayak. Saat ini pemahaman tentang kebenaran ternyata diartikan dengan sangat sempit dan kerdil: kebanyakan dibawa ke ranah hukum atau pengadilan untuk diputuskan benar-tidaknya.
Dalam proses mencari kebenaran ini pun terjadi masalah besar: karakter pihak yang terlibat lemah. Keputusan pengadilan sangat bergantung pada kualitas, moralitas, dan karakter para hakim. Kenyataannya, banyak putusan yang tak masuk akal, tak konsisten, dan jauh dari kebenaran yang hakiki.
Berkarakter lemah
Di samping itu, peraturan perundangan yang digunakan sebagai rujukan juga tak mencerminkan kebenaran yang hakiki karena disusun oleh orang yang juga berkarakter lemah. Akibatnya, peraturan perundangan kita cenderung tak propublik, malah mempersulit masyarakat. Lengkaplah sudah kesengsaraan warga karena tak satu lini pun yang prokepentingan publik.
Beruntunglah Indonesia. Rakyatnya tahan banting dan sangat sabar, bahkan cenderung pasrah sehingga stabilitas nasional sangat baik dan tak ada gejolak sosial yang signifikan, apalagi revolusi sosial. Siapa pun tak ingin terjadi revolusi sosial karena dampaknya akan sangat buruk bagi bangsa ini.
Meski demikian, keadaan seperti ini tak dapat dibiarkan terus-menerus. Kesabaran warga makin lama akan makin habis. Mereka manusia biasa meski relatif lebih sabar dan tawakal. Kalau kehidupan mereka sampai terjepit, mereka akan bertindak tak rasional lagi.
Mereka yang terjepit posisi kehidupannya tak punya pilihan lain, kecuali bertindak brutal melawan hukum. Kalau tetap diam bersabar, akhirnya mereka juga akan mati oleh kondisi yang terjepit. Kalau melawan hukum, mereka juga akan ditangkap dan dipenjara. Itulah buah simalakama bagi penduduk sangat miskin yang jumlahnya besar sekali di negara ini.
Hal yang diinginkan dan diperlukan oleh bangsa ini adalah reformasi sosial ketika kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa harus ditata ulang atau direformasi total dengan mengedepankan kebenaran yang hakiki. Ini dibarengi dengan keberanian bersikap kukuh terhadap prinsip kebenaran hakiki.
Harus dibentuk
Ini berarti karakter warga harus dibentuk seperti itu sehingga pada akhirnya terbentuk karakter bangsa yang kuat. Pembentukan karakter harus dilakukan melalui pendidikan, baik formal maupun informal. Namun, pendidikan kita harus dibenahi sebelum nanti mampu membangun karakter bangsa.
Saat ini kita masih menghadapi masalah dengan pendidikan kita yang tak humanis: tak menyentuh kepada manusianya, tak menyentuh kepada siswa, guru, dan tenaga kependidikan lainnya.
Sebagai contoh, adanya ujian nasional yang jelas-jelas menjauhkan pendidikan dari manusia pelaku-peserta pendidikan. Seolah terjadi dua kubu yang berhadapan, pemerintah-diknas-Badan Standar Nasional Pendidikan dengan sekolah-guru-murid. Padahal, seharusnya kedua kubu itu menyatu dalam pendidikan. Itu sebabnya sampai saat ini pendidikan kita belum bisa mencapai tingkat mutu yang tinggi.
Terlalu jauh kebijakan konsep pendidikan dengan pelaku-peserta pendidikan. Akibatnya, setiap pihak berjalan sendiri sesuai dengan keyakinan masing-masing, yang ternyata menyimpang dari makna dan hakikat pendidikan. Dengan pendidikan yang humanis, pembangunan karakter bangsa dapat dirintis secara berkelanjutan.
Untuk keberhasilan ini masih diperlukan satu unsur penting lain: kepemimpinan yang berkarakter dan menjunjung tinggi kebenaran yang hakiki. Masyarakat kita paternalistis. Sebenarnya tak sulit membimbing mereka. Artinya, kalau dibimbing ke arah yang salah, mereka juga akan ikut salah.
Satryo Soemantri Brodjonegoro Guru Besar ITB dan Penasihat Akademik Binus University, Jakarta
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.