JAKARTA, KOMPAS.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari menyatakan banyak kejanggalan terkait dengan kasus penangkapan Drs Abdul Rifai (80) dan Dra Zaliha Lasope (70), suami-istri pendiri Yayasan Universitas Islam Buton (Unisbun), oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara. Terhitung sejak 30 Desember 2010 hingga Selasa (18/1/2011) kedua pendiri Unisbun itu masih mendekam di Rumah Tahanan Bau-Bau, Sulawesi Tenggara.
Saat ini kasus tersebut ditangani LBH Kendari, yang pada Senin lalu melakukan advokasi ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta. Pihak LBH Kendari memaparkan, setelah melalui berbagai proses, akhirnya pada 30 Desember 2010 pasangan suami-istri itu resmi ditahan di Rutan Bau-Bau dan sejak itulah LBH Kendari turun tangan untuk melakukan advokasi bagi pasangan Rifai-Zaliha.
"Saya yakin ada permainan dari semua ini," kata Yonathan.
Ia memaparkan, permainan tersebut bisa dilihat dari kejanggalan surat-menyurat antara pihak Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional dan Unisbun, dalam hal ini Abdul Rifai. Dalam perkembangan perkara yang awalnya hanya Pasal 263 Ayat 1 KUHP, LBH menyatakan ada satu surat yang nomor, tanggal, dan tahunnya sama dengan yang dikeluarkan Dikti dan yang dipegang Rifai.
"Tapi, isinya berbeda antara yang dipegang keduanya. Yang dipegang Rifai menyatakan bahwa izin operasional Unisbun dapat dipertimbangkan, sementara yang dipegang oleh Dikti, dalam hal ini oleh penyidik Polda, isinya tidak dapat dipertimbangkan," ujar Yonathan kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu.
Dia menuturkan, ada kejanggalan saat pihaknya bertemu dengan Direktorat Kelembagaan dan Kerja Sama Dikti serta mengklarifikasi perbedaan kedua surat itu, khususnya soal surat yang asli. Ternyata, kata Yonathan, yang diakui Dikti adalah surat yang dipegang Polda.
"Lho, berarti ada dua surat, tapi hanya satu yang diakui. Surat dari Dikti itu capnya kementerian, tapi surat yang dipegang Rifai capnya departemen. Logikanya berarti Dikti telah punya cap kementerian sejak 2008," papar Yonathan.
Itu baru persoalan cap. Kejanggalan lain temuan LBH adalah semua surat izin yang dikeluarkan Dikti dan diterima Rifai dinyatakan palsu oleh Dikti. Ketika diklarifikasi oleh LBH tentang alasan surat izin tersebut bisa keluar, Dikti menolak mengatakan soal itu.
"Saya agak bersitegang soal ini. Saya juga tanyakan, mana orang Dikti yang bernama A Riyanto? Karena, berdasarkan keterangan Rifai, A Riyanto itulah yang selama ini dikirim Dikti untuk melakukan supervisi dan mengecek langsung keberadaan Unisbun," ungkapnya.
Anehnya, lanjut Yonathan, kedatangan A Riyanto justru berdasarkan surat tugas dari Dikti dan ketika diklarifikasi surat tersebut tidak diakui Dikti.
"Pihak Dikti bilang tidak ada tim yang dikirim ke Buton. Lalu, saya tanya, Pak Riyanto ini siapa? Mereka bilang betul ini staf Dikti dan dikatakan sebagai staf biasa yang sedang dalam posisi pensiun dan akan dipecat. Lho, seharusnya A Riyanto ini peran kunci untuk membongkar kasus ini," ia menegaskan.
Di sisi lain Yonathan menyesalkan sikap Polda Sulawesi Tenggara yang tidak pernah memeriksa atau mengecek sosok A Riyanto. Padahal, dalam BHP disebutkan, kuasa pengurusan izin sudah menyatakan A Riyanto sebagi kuasa Unisbun untuk mengurus surat-surat Unisbun dan diberikan ke Dikti agar izinnya keluar.
"Ini yang tidak diakui oleh Dikti," ujar Yonathan. Sebelumnya diberitakan, LBH Kendari menduga ada permainan yang mengakibatkan Rifai dan Zaliha ditangkap Polda Sulawesi Tenggara sejak 30 Desember 2010 hingga Selasa.
LBH menilai ada pihak-pihak yang tidak senang dengan Unisbun. Sebab, Unisbun berani menggelar pendidikan gratis bagi mahasiswa yang tidak mampu membayar uang kuliah dan menggantinya setelah lulus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.