Pekan Kerukunan Beragama 2011 yang dibuka Minggu (6/2) telah dinodai peristiwa serangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Minggu (6/2), dan aksi massa yang merusak tiga gereja dan satu sekolah di Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (8/2).
Serangan di Cikeusik menyebabkan tiga orang tewas dan lima orang luka parah. Prasangka dan kebencian berbuah kekerasan dan menebar ketakutan di Temanggung. Seruan para tokoh agama di Indonesia tentang dialog antaragama dan budaya, perdamaian, penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan lenyap gemanya. Ruang mereka sempit ditelan pernyataan provokatif pejabat dan tokoh politik yang membenarkan bahkan mengundang kekerasan (condoning).
”Kalau situasi ini terus dibiarkan, prospek kerukunan beragama di Indonesia suram,” ujar intelektual muda Nahdlatul Ulama yang juga komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Neng Dara Affiah.
Laporan Institut Setara, lembaga kajian demokrasi dan perdamaian, pada 2007-2010 menunjukkan ketiadaan prakarsa pemerintah memajukan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan secara normatif diteguhkan konstitusi, khususnya Pasal 28 E Ayat 1 dan 2 UUD 1945, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta UU No 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Namun, politik pembatasan dilakukan melalui Pasal 28 J (2) UUD 1945 dan berbagai peraturan perundangan yang diskriminatif.
Banyak kasus menyeruak di pengujung 2010. Di antaranya, upaya pembongkaran patung Buddha di Vihara Tri Ratna di Tanjung Balai; pembubaran pertunjukan wayang oleh kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu di Sukoharjo, Jawa Tengah; penurunan patung karya Nyoman Nuarta di pintu masuk real estat di Bekasi; selain penikaman pendeta HKBP di Ciketing dan serangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Manis Lor, Cirebon.
”Toleransi pemerintahan SBY pada kelompok yang melakukan kekerasan atas nama agama lebih besar daripada pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri,” tegas aktivis penegakan hak asasi manusia, Usman Hamid.
Bahkan, laporan Institut Setara 2010 menegaskan penyangkalan beberapa pejabat tinggi negara akan kebinekaan negeri ini, termasuk 12 tindakan condoning oleh tokoh publik, enam di antaranya oleh Menteri Agama.
Penyerangan terhadap komunitas tertentu karena agama dan keyakinannya selalu berimbas pada perempuan dan anak dalam bentuk marjinalisasi dan kekerasan, seperti terjadi khususnya pada kelompok Ahmadiyah di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Menurut Neng Dara, mereka menjadi obyek kekerasan seksual, pengucilan, kehilangan akses ekonomi dan status kependudukan, serta mengalami gangguan kesehatan. Reproduksi kebencian terjadi di antara sesama anak yang juga didiskriminasi dalam pendidikan dan berpotensi menyimpan trauma akibat pelabelan.
Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzaifah mengatakan, tiga tahun terakhir tercatat 342 kali serangan terhadap komunitas Ahmadiyah. Laporan Institut Setara memperlihatkan, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama tiga tahun terakhir sampai tahun 2009 paling banyak menimpa komunitas Ahmadiyah.
”Tahun 2010 pelanggaran terbanyak menimpa jemaat Kristiani,” ujar peneliti senior Institut Setara, Ismail Hasani.
Kekerasan massa di tingkat komunal, menurut Neng Dara, menunjukkan kegagalan pemerintah melakukan pencerahan dan pencerdasan terhadap warga negara. Dengan membiarkan kebodohan, sentimen terhadap identitas agama (dan etnis) selalu berpotensi dimanfaatkan kepentingan politik pihak tertentu. Di sisi lain, hak keberwargaan kelompok yang terpinggirkan akan terus disandera.
”Tak seorang pun berhak mendefinisikan keimanan seseorang kecuali orang bersangkutan,” tegas Neng Dara yang sulit menerima penyangkalan pelanggaran HAM atas kasus penyerangan itu.
Tantangan serius gerakan perempuan saat ini, menurut Koordinator Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) Wilayah Yogyakarta Farsijana A Risakotta adalah menguatkan kerukunan warga untuk menolak kekerasan yang mungkin dipicu pihak luar kelompok.
”Peristiwa di Banten dan Temanggung adalah pelajaran berharga. Kita juga melihat bagaimana masyarakat Temanggung membela hak mereka atas kerukunan,” ujar Farsijana.
Doktor antropologi lulusan Radbout Nijmegen Universiteit, Belanda, yang penelitian disertasinya di Maluku itu mengingatkan tentang pola sistematis untuk membangun ketakutan dan prasangka yang berujung pada kerusuhan terhadap masyarakat yang semula hidup rukun dan damai, seperti di Maluku Utara dan Poso.
”Kekerasan menghancurkan semuanya, bukan hanya fisik, tetapi juga ingatan kolektif,” ujar Farsijana yang bersama KPI wilayah Yogyakarta baru selesai menggelar pameran seni limbah dan ekspresi perempuan menolak kekerasan.
”Yang terpenting menguatkan kerukunan dan tidak terjebak pada pusaran pro dan kontra. Banyak hal abu-abu dalam politik kekuasaan. Kita, perempuan, dipanggil untuk menyelamatkan kehidupan.”