Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melukai Sekolah Swasta

Kompas.com - 22/02/2011, 03:34 WIB

Ki Supriyoko

Munculnya Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang penarikan guru berstatus pegawai negeri sipil yang bertugas di sekolah swasta, beberapa waktu lalu, benar-benar memprihatinkan.

Para pengelola dan lembaga penyelenggara sekolah swasta pun dibuat dag-dig-dug. Kalau para guru PNS yang bekerja di sekolah mereka benar-benar ditarik, sekolah swasta dipastikan akan banyak kehilangan SDM yang terstandar. Bagaimanapun, guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta hampir dapat dipastikan merupakan SDM yang standar; setidaknya menyangkut kualifikasi pendidikan minimal, sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.

Masalah penghargaan

Masalah keberadaan guru PNS di sekolah swasta bukan sekadar masalah penempatan. Secara historis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dengan mengacu pada dua tujuan sekaligus.

Pertama, secara ideologis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebagai wujud penghargaan pemerintah kepada pihak swasta atas perjuangan yang sudah dilakukan. Kedua, secara teknis, penempatan guru PNS di sekolah swasta bertujuan untuk memeratakan kualitas pendidikan. Sebab, dengan asumsi guru PNS memiliki standar kualitas yang memadai, penempatan mereka di sekolah swasta berarti meratakan kualitas pendidikan nasional.

Secara ideologis, siapa tak kenal Perguruan Tamansiswa? Siapa tak kenal Ma’arif NU, Muhammadiyah, Yayasan Pendidikan Katolik, Yayasan Pendidikan Kristen, dan lain sebagainya, yang sejak masa prakemerdekaan sudah menunjukkan darma bakti kepada negeri ini melalui jalur pendidikan.

Perguruan Tamansiswa, misalnya, di bawah kepemimpinan tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, pada 1922 sudah mulai berkiprah di masyarakat dengan memberikan pelayanan pendidikan yang saat itu sangat mahal harganya. Ketika itu pelayanan pendidikan diberikan oleh penjajah Belanda dan hanya dapat dinikmati oleh kaum bangsawan.

Munculnya Tamansiswa telah menumbuhkan harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Pendidikan Tamansiswa pun dapat dinikmati mulai dari kaum bangsawan hingga rakyat jelata yang secara akademis melahirkan putra-putra bangsa yang cerdas dan secara politis memiliki kekuatan yang tidak bisa dipandang ringan.

Kalau kemudian pada 1932 penjajah Belanda melarang kiprah pendidikan rakyat Indonesia, dalam kasus onderwijs ordonnantie atau wilde scholen ordonnantie, hal itu menunjukkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, kaum penjajah atas makin meluasnya kiprah pendidikan bangsa Indonesia. Kalau kemudian para tokoh pendidikan Tamansiswa, NU, Muhammadiyah, Katolik, Kristen, dan sebagainya—di bawah kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara—melawan pemberlakuan larangan tersebut, hal itu merupakan bukti kekuatan politik bangsa Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com