Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Amandemen UUD 1945 Lagi?

Kompas.com - 19/03/2011, 03:02 WIB

Bambang Kesowo

Sudah sejak beberapa waktu lalu berlangsung wicara, bahkan cenderung polemik sekitar perlu-tidaknya mengamandemen UUD 1945.

Ada yang bertolak dari penilaian bahwa empat kali amandemen telah menghadirkan kekacauan sehingga ingin kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen. Kelompok lain beranggapan, rangkaian amandemen telah sesuai dengan tujuan reformasi. Ada yang ingin amandemen terbatas untuk memperoleh kewenangan yang dianggap belum cukup. Ada pandangan lain lagi: perlu perubahan menyeluruh dengan tata pikir yang lebih jernih dan desain yang lebih baik.

Bagaimana sesungguhnya potret persoalan hingga timbul aneka pandangan seperti itu? Mencermati keseluruhan hasil amandemen UUD, Ikatan Alumni Lemhannas (Ikal) dalam Konvensi Nasional X tahun 2007 mengidentifikasi beberapa soal.

Kekuasaan tak berimbang

Pertama, dan yang terutama, adalah kurang baiknya pengaturan perimbangan kekuasaan presiden dan DPR. Upaya penipisan kekuasaan presiden yang sebelumnya dianggap terlalu besar menebalkan kekuasaan DPR yang tidak semua diperlukan. Misalnya, memberi pertimbangan bagi pelaksanaan prerogatif presiden, mewajibkan presiden minta persetujuan DPR sebelum menerima duta besar negara asing, dan membuat perjanjian internasional tertentu. DPR dimungkinkan ”menjatuhkan” presiden lewat mekanisme Pasal 7 A, B (amandemen III) dan pada saat yang sama ditegaskan bahwa presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR (Pasal 7 C, amandemen III).

Presiden yang terikat sumpah memegang teguh UUD dan segala UU justru bisa dihadapkan pada dilema sehubungan dengan kewajibannya menjalankan UU (yang tetap berlaku sekalipun tidak disahkan presiden) dan mungkin tidak menguntungkannya secara politis!

Walau sedikit banyak disebabkan juga oleh keyakinan politik presiden sendiri untuk mengundang partai-partai politik dalam koalisi di parlemen dan di pemerintahan (yang kemudian lebih sering dirasakan sebagai sandera dalam gaya pemerintahan parlementer), buruknya desain perimbangan kekuasaan itu pula yang berdampak negatif terhadap kemangkusan pemerintahan presidensial yang dipimpinnya.

Selain itu, ketika kedaulatan ditegaskan ”berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”, pertanyaannya adalah siapa yang harus melaksanakan?

Dalam praktik kenegaraan berikutnya, yang lebih tampil adalah kesan bahwa desain seperti itu sesungguhnya memang diarahkan untuk menggeser kekuasaan negara kepada DPR. Tiadanya batasan pengertian dan lingkup fungsi pengawasan mendorong kecenderungan DPR menggunakannya dalam teknis operasional yang lebih luas.

Kedua, tidak ada lagi tuntunan dalam penyelenggaraan negara yang sebelumnya mengenal GBHN. Kini semua dipenjurukan pada janji politik selama pencalonan dan program kerja. Dalam praktik yang kemudian dikembangkan, hal itu dituangkan dalam UU yang mengurai program jangka menengah hingga jangka panjang. Desain seperti itu tidak salah apabila didasarkan asumsi bahwa presiden untuk masa-masa berikutnya datang dari partai yang sama atau berpandangan sama. Namun, bila presiden berikutnya dari partai yang berbeda dengan pandangan, janji, program, dan pendekatan, amat sulit diwujudkan asas berkelanjutan dalam kegiatan pembangunan.

Ketiga, introduksi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai ”senator” daerah provinsi tidak saja tidak mewujudkan institusi, sistem, dan fungsi bikameral seperti yang diinginkan, tetapi juga mengundang pertanyaan apakah adopsi kelembagaan serupa itu, yang logis dan efektif dalam susunan negara federal, cocok dengan bangun dan kebutuhan negara kesatuan. Fungsi DPR dan DPD tidak ada titik temunya, bahkan juga di MPR.

Kaji ulang otonomi

Keempat, pembagian wilayah negara dalam provinsi dan kabupaten/kota, yang masing-masing diselenggarakan berdasar asas otonomi, secara konseptual perlu pemikiran ulang. Semangat dan politisasi yang berlebihan terhadap aspirasi, demokrasi, dan hak-hak ”poleksosbud” banyak menghasilkan daerah otonom baru yang tidak kapabel. Dengan SDM yang tidak memadai menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan penggalian pendapatan asli daerah, akhirnya mereka hanya menggantungkan pembiayaan APBD dari dana perimbangan.

Otonomi tumbuh bagai ”kedaulatan” daerah yang pada saat tertentu mengancam ”cerai atau pisah” dari NKRI bila sesuatu tak terpenuhi. Dalam wilayah provinsi (kecuali DKI Jakarta) di mana pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota semua berstatus otonom, dikesankan seolah-olah rakyat yang hidup dengan otonomi berlapis. Peran pemerintah provinsi dengan gubernurnya sebagai penerus dan pengendali implementasi kebijakan pemerintah pusat sekaligus harmonisator di kalangan kabupaten/kota otonom justru tak ada.

Pengalaman kembali memberikan pelajaran bahwa pemberian otonomi kepada kabupaten dan kota memang benar dan lebih masuk akal guna memperkuat dan merajut NKRI.

Mencermati problem dan dinamika di atas, Ikal melihat pembenahan ulang kehidupan nasional melalui penataan konstitusi adalah sesuatu yang wajar. Dalam jangka panjang, perbaikan memang dibutuhkan. Masalahnya adalah sebagian atau seluruhnya, kapan dan bagaimana?

Perubahan menyeluruh, bagaimanapun idealnya, jelas memiliki kompleksitas yang tidak sederhana. Di dalamnya ada aspek politik, substansi (falsafah, struktur, sistematika, prinsip-prinsip), modalitas, dan prosedur yang perlu ditimbang. Kalaupun dilakukan terbatas pada bidang-bidang yang menjadi sumber ”kegaduhan” terlebih dahulu, muncul pertanyaan, mungkinkah pembatasan tersebut?

Namun, karena mengubah UUD merupakan kewenangan MPR, akan mudahkah mengajak partai-partai politik yang menguasai lembaga tersebut untuk melakukan perubahan?

Begitu pula konteks modalitas dan prosedur agaknya sudah saatnya direnungkan. Pertama, tidak lebih baikkah bila penelaahan, penyusunan, dan perancangan tersebut oleh MPR diserahkan kepada panitia atau komisi konstitusi yang terdiri dari para ahli daripada panitia ad hoc seperti yang lalu?

Kedua, hasilnya disusun dalam bentuk matriks yang berisi pokok materi, arah pengaturan, dan alasannya, lalu disajikan untuk mendapat persetujuan langsung dari rakyat melalui referendum. Rancangan akhir naskah UUD yang tersusun, setelah memerhatikan hasil referendum, disampaikan kepada MPR untuk disahkan. Mekanisme aspek kedua tersebut terkait erat dengan pemahaman bahwa UUD adalah dokumen hukum tertulis tertinggi, wujud cita kontraktual rakyat yang berdaulat.

Kewenangan merancang dan menentukan arah dan isi UUD (dan mengubahnya) adalah wujud kedaulatan rakyat dan sebaiknya tetap di tangan rakyat. Dengan pelajaran dan pengalaman selama ini, sebaiknya dalam perancangan perubahan UUD ini tidak dibangun konsepsi ada lembaga (termasuk MPR ataupun DPR) sebagai ”alter-ego” rakyat dan kedaulatan rakyat.

Bambang Kesowo Anggota Dewan Penasihat Ikatan Alumni Lemhannas

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau