Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apresiasi Seni yang Salah Porsi....

Kompas.com - 21/03/2011, 15:08 WIB

KOMPAS.com - Salah satu buku seri "Lebih Dekat dengan SBY" adalah buku berjudul "Merangkai Kata Menguntai Nada". Buku ini memaparkan sisi artistik kehidupan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apa isi sesungguhnya?

Banyak pernyataan menggelitik tersaji di buku ini, terutama ketika mengingat buku ini diedarkan sebagai buku pengayaan di institusi pendidikan formal tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SD/SMP). Hal pertama yang perlu dikritisi melalui kaca mata pendidikan Indonesia adalah sasaran pembelajaran yang ingin dicapai dan kesesuaiannya dengan kurikulum.

"Tubuhnya yang tinggi, wajahnya tampan, dan kulit kuningnya, membuat anak-anak wanita yang menonton menjerit-jerit histeris. Tak peduli peran apa yang sedang dimainkan SBY, cewek-cewek itu selalu bersorak saat SBY muncul (hal. 3)".

Seperti tergambar dari petikan tersebut, konteks edukasi seni menjadi hilang sama sekali dari buku ini. Penulisnya lebih sering mengulang deskripsi kualitas SBY daripada mencoba menggali keunggulan karya-karyanya. Paling tidak, paruh pertama "Merangkai Kata Menguntai Nada" ini berkutat dengan sanjungan-sanjungan salah sasaran seperti itu.

Kata-kata seperti "tinggi", "gagah", "berkulit kuning", kerap menghiasi sekujur isi buku ini. Ada kesan, penonton (wanita) histeris hanya karena kualitas fisiknya, tak peduli seberapa kualitas pertunjukannya, apalagi kualitas artistik sang SBY muda. "Cewek-cewek" itu hanya suka tubuh sempurna ditambah sedikit keberanian tampil.

"Siapapun yang membacanya pasti akan tersentuh. Bayangkan, jika seorang gadis menerima puisi seperti itu dari sang pemuda idaman. Berapa lama dia bisa bertahan sebelum jatuh pingsan (hal. 15)".

Penulis buku ini lupa, bahwa ukuran kualitas sebuah karya sastra tentu bukan keberhasilan men-jatuhpingsan-kan banyak lawan jenis. Di buku ini, kedalaman makna dan kekuatan pesan tak sekalipun dibincangkan meskipun semua bagian mengutip puisi dan lirik lagu karya SBY.

Segi-segi ilmiah bidang ilmu sastra hilang. Harusnya, tujuan dasar tiap kurikulum bahasa dan sastra di dunia pendidikan adalah membuat siswa mampu mengidentifikasi dan mengapresiasi karya-karya sastra, bukan penciptanya. Di buku ini, apresiasi berlebih yang diberikan penulis pada SBY memburamkan tujuan utama buku ini sampai di sekolah-sekolah.

Biografi bela diri

Paruh berikutnya, buku ini berusaha menjustifikasi hobi SBY menulis puisi dan pencipta lagu sebagai hak asasi, seperti orang kebanyakan dengan hobinya masing-masing.

Namun, silih berganti dengan itu, kontradiksi hadir saat muncul pernyataan, adalah hebat jika hobi tersebut ada pada diri seorang presiden, profesi menuntut ketegasan dan kewibawaan. Ia telah membuktikan bahwa presiden juga adalah yang bisa melakukan hal-hal yang "dilakukan orang biasa".

"Kalau dulu, saat seorang presiden berdiri di podium dengan mikrofon di depannya, tentulah akan menyampaikan pidato resmi. Tidak begitu dengan SBY (hal. 48)".

Buku ini hanya satu dari sedikit usaha pembelaan terhadap hobi SBY yang sering ditunjukkan tak pada tempatnya. Seperti diketahui bersama, SBY memerintah saat Indonesia tumbuh menjadi salah satu negara dengan pengguna jejaring sosial terbesar. Media baru ini tumbuh menerabas batas tabu dunia politik. Saat jejaring sosial ramai mengkritik pemerintah, isu demi isu bertaraf nasional silih berganti dengan cepat mengisi ruang-ruang informasi masyarakat.

Bela diri pemerintah yang juga "hanya manusia biasa" berusaha mengetuk pintu pengertian dan simpati, melupakan klarifikasi didasari bukti.

"Belum lagi nada-nada yang dibuat SBY, begitu lembut dan menggugah jiwa. Lebih jauh lagi, lagu-lagu ciptaan SBY bisa menghibur. Tak ada yang salah dengan semua itu. Tinggal, bagaimana warga masyarakat yang menyimak lagu-lagu itu merespons (hal. 92)".

Buku ini tangkas menangkis kritik masyarakat pada hobi SBY yang sering dianggap tak pada tempat dan waktunya. Dikatakannya, tak ada yang salah, meski tak ada korelasi dan tak bisa dikaitkan, antara hobi SBY dan posisinya sebagai presiden.

Singkatnya, lebih dari sekedar kecerobohan jika buku ini dipakai sebagai buku pengayaan bidang budaya dan sastra dengan dibiayai Dana Alokasi Khusus (DAK) 2010. Menyimpang dari tujuan pengajaran sastra, buku ini mengajak siswa mengagumi sosok dan kisah hidup SBY, yang memiliki hobi berpuisi dan menulis lagu, tanpa mengupas karya-karyanya secara mendalam.

Sekali lagi, "Merangkai Kata Menguntai Nada" lebih sebagai sebuah biografi yang dibuat untuk memulihkan citra baik, bukan sebuah apresiasi terhadap karya seni. (Roberto Januar Setyabudi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com